Senin, 30 Mei 2011

Hanya kelihatannya

Sepeda butut dengan suara khas lewat di jalan di depan rumah. Seorang anak perempuan kelas tiga sekolah dasar berlarian mendekati jendela rumah agar bisa melihat siapa yang lewat. Ia memang senang melihat lalu lalang di jalanan depan rumah.

“Yah, siapa itu?” Tanya anak pada ayahnya yang duduk di kursi tamu.
Sang ayah mendekat di jendela. “O, itu Pak Tani!” Jawab ayah.

“Itu siapa lagi ayah?” Tanya sang anak lagi begitu lewat seorang bermobil dengan pakaian dinasnya.

“Kelihatannya Pak Pejabat!” Jawab ayahnya agak ragu.

“Kenapa kok kelihatannya, ayah?” Sang anak penasaran.

“Soalnya dia hanya pakai baju pejabat, tapi tidak jelas apa yang dilakukan di kantornya! Untuk rakyat atau untuk dirinya sendiri.”

Si anak geleng-geleng kepala. “Itu siapa ayah?”

Seseorang dengan atribut khusus di wajah dan gerakan yang agak beda.

“Kelihatannya seorang ustadz!” Jawab ayah.

“Kok hanya kelihatannya lagi, yah!”

“Sebab, ayah baru bisa melihat dari tanda di baju dan format wajahnya yang seperti seorang ustadz. Tapi tidak jelas pula, untuk siapa dia seperti itu. Untuk umat atau untuk kepentingan dirinya sendiri!”

Sang anak pun geleng-geleng kepala lagi. “Kalau begitu, siapa saja bisa seperti dia! Seperti yang terlihat!”

“Iya. Seperti artis yang akting untuk film. Ia bisa berlagak menjadi apa saja menurut kehendak hatinya. Yang penting dapat kedudukan dan uang!”
(Ali Shodiqin)

Doa bertaraf internasional

Seorang mahasiswa mengajukan proposal kegiatan hiburan untuk rakyat kepada sebuah bank. Oleh kepala bank ditolak karena tidak ada anggaran music, yang ada anggaran social.

Mahasiswa tetap mengejar bantuan, tidak lagi kepada bank tapi kepada pribadi kepala kantor.

“Saya tidak lagi memohon bantuan kepada bank bapak. Tapi saya mohon doa restu kepada pribadi bapak!” kata Mahasiswa akhirnya.

“Ya, saya doakan semoga kegiatan anda berhasil sukses!” kata kepala bank.

“Tapi pak. Doa bapak harus berlaku internasional,” kata mahasiswa agak gusar.

“Apa maksudnya?”

“Doa bapak harus ada biayanya. Kalau tidak keluar uangnya percuma saja, karena tidak akan sampai kepada Tuhan,” jelas mahasiswa percaya diri.

“Begitu ya. Baik, saya akan mengeluarkan uang untuk menyumbang!” kata kepala bank sambil mengeluarkan uang seratus ribuan sebanyak lima lembar.

“Terima kasih pak,” mahasiswa senang sekali.

“Ya sama-sama. Saya dulu ketika masih mahasiswa juga seperti anda ini!” kata kepala bank sambil tersenyum. (Ali Shodiqin)

Bermimpilah !

AKU terpaku di kursi mendengarkan penjelasannya. Pada Senin tanggal Sembilan Mei ini, teman yang baik sekaligus kepala kantor saya, kembali menjelaskan bahwa usaha air minum milik sang paman yang hendak dikendalikannya akan menuai sukses. Ia memperkirakan, jika mampu melayani kebutuhan air minum di dalam kota, itu sudah cukup menjadi pertanda bahwa usahanya akan sukses.

SIANG bolong begini masih suka bermimpi kosong? Atau benar mimpi yang berdasarkan perhitungan realistis?

“O, ini realistis! Ada hitungannya. Saya sangat memahami kinerjanya!” Ia menegaskan penuh percaya diri. Sebuah sikap yang ditularkan oleh Pamannya yang saya kenal memiliki mimpi yang luar biasa.

“HMM, memang sukses itu harus diawali dengan mimpi!” Timpalku. Sebelum saya diterima kerja di perusahaan ini saya sempat ditanya mimpiku. Ketika saya mengelak tidak ingin mudah bermimpi, ternyata ia mendesakku agar aku punya mimpi. “Kamu harus punya mimpi!” begitu suaranya kembali terngiang.

“INSYA ALLAH bisa! Bahkan masing-masing manager diberi fasilitas mobil pun Insya Allah bisa!” Katanya makin berapi-api sambil menunjukkan alur rencana kerja yang kira-kira akan dilakukan.

“Jika kita merasakan, sebenarnya apa yang kita alami saat ini adalah karena mimpi-mimpi kita dulu!” Kataku kemudian.
Ia tersenyum membenarkan. Sebagian peristiwa yang terjadi saat ini adalah sebagaimana mimpi-mimpi masa lalu.

“Tapi ini semua baru sebuah rencana. Tapi rencana yang realistis. Soal nanti bisa melaksanakan atau tidak itu saya belum tahu!” Sang manager pun mulai merendah karena takut sombong. Ia paham betul bahwa hanya Allah lah pemegang kendali hidup ini.

“Ya! Semoga bisnis air minum dalam kemasan ini sukses!”
(Ali Shodiqin)

Minggu, 15 Mei 2011

Politikus Warisan Meneruskan Tradisi

“Pilih kami! Kami akan jujur, peduli dan bersih!” Teriaknya lantang.
Dengan berapi-api ia berorasi di depan khalayak, di depan media elektronik, di depan wartawan surat kabar, bahwa dirinya hendak memberantas korupsi jika kelak terpilih jadi wakil rakyat. Ia akan jujur, akan adil, akan peduli, akan bersih, dll. Ia mewakili ribuan temannya yang serupa namun tak sama. Sekarung amplop berisi uang pun disebarkannya untuk mencapai semuanya dengan dalih mewakili rakyat.

Seorang yang lain, mewakili orang-orang sepertinya, mengeluarkan segepok uang kepada petinggi kabupaten, provinsi maupun pusat, agar diterima jadi PNS, dengan harapan ia akan menata hidupnya dan mengabdi dengan tulus melayani rakyat.
Tak ada eiforia, kegembiraan meluap, sujud syukur spontan di sembarang tempat, manakala diumumkan mereka benar-benar terpilih. Justru tiba-ti ba mereka teringat sebuah nilai uang yang sudah hilang.

“Jika kesempatan ini tidak diambil, tentu orang lain yang mengambilnya!” Sang wakil rakyat dan abdi rakyat itu berbisik. Mereka akhirnya terbawa arus, mewarisi kebobrokan-kebobrokan dan melanjutkan tradisi yang sudah ada. Sebuah tradisi yang tampak benar karena sudah terbiasa dilakukan secara berjamaah dan diketok palu orang yang memiliki semangat keserakahan yang sama. (Ali Shodiqin)

Jumat, 14 Januari 2011

Guk...!

Guk….! Guk….! Guk….!

Terdengar gonggongan anjing milik seorang kawan. Ia menggonggong disamping tuannya, sementara sang tuan senyum-senyum bangga.

”Apa yang dikatakannya?” Tanyaku seakan melihat sang anjing bicara pada tuannya.

”Ia mengatakan, kau hebat bos!” kata sang kawan.

Aku terkekeh, dugaanku benar. Anjingnya memang bicara pada bosnya, ala anjing tentunya. Sang bos menduga kalau anjingnya yang suka pamer lidah itu memujinya.

”Apa yang sering dikatakannya?” Tanyaku seakan penasaran.

Bagaimanapun aku tidak akan percaya akan terjemah tingkah anjing, kecuali jika disuruh berbuat yang nyata. Seperti menjaga rumah dan menakut-nakuti orang lewat.

”Anjingku ini bikin aku bangga. Ia selalu tampak senang dengan segala tindakanku!” Sang kawan menjelaskan lebih gamblang.

”Kau begitu percaya pada anjingmu?” Selidikku.

“Tentu saja. Aku nyaris tidak perlu minta pendapat orang lain, jika anjingku tampak setuju dengan tindakanku.”

“...........?????”

(Ali Shodiqin)

Ada Bayi Di Kelas Saya

Aku serius mengerjakan lembaran test di bangku meja paling belakang. Suasana ribut dari kawan-kawan di kelas itu saya anggap sebagai musik saja. Ada yang jalan-jalan cari contekan. Ada yang diam saja dapat contekan. Ada menelepon pacarnya di rumah, walaupun jawabannya sama saja, tidak tahu isinya. Bahkan ada yang membuat kocokan seperti arisan, mana yang jatuh itulah jawabannya. Suasana ujian kenaikan kelas itu seperti suasana reuni. Kami bisa bersua bersama teman-teman sekelas ketika sedang test saja. Setelah test berlalu, kami tidak lagi pernah ketemu, kecuali pada test semester berikut.

Kelas kami sungguh istimewa. Di kelas kami ada hadir penghuni yang masih imut. Seorang bayi baru berumur delapan bulan. Dia bersama ibunya yang juga anggota kelas ini. Ia sedang lucu-lucunya, digendong ke sana kemari, seperti boneka. Digendong bergantian dengan oleh teman-teman lainnya. Sang bayi seperti cengengesan menyaksikan teman ibunya yang sedang mengerjakan test tanpa berpikir sama sekali.

Ohoi, sebuah kelas yang ada di dunia dongeng. Namun hal ini saya sebuah keniscayaan saja. Seperti air mengalir, untuk mengejar selembar pengakuan. Sebagai orang-orang tua yang melanjutkan sekolah. Konon sebuah kelas untuk orang-orang yang kurang beruntung. Untuk apa?

(Ali Shodiqin)

Anjing Penjaga

Sebuah keluarga sedang bercengkerama bahagia di ruang tengah sambil menikmati makanan kecil. Mereka ada di sebuah rumah yang cukup baik di tengah sebuah padang yang tandus. Keberadaan mereka yang bahagia di tengah tegalan gersang tak urung membuat setiap orang yang melihatnya terheran-heran. Banyak diantaranya yang lantas ingin bersahabat dan berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi persahabatan. Dan ada pula yang tidak senang namun ingin mendekat karena membutuhkan materi dari keluarga bahagia tersebut. Mereka adalah segerombolan makhluk yang suka menggonggong.

”Ayah, mereka datang lagi. Mengitari rumah kita!” Kata salah satu anak kepada ayahnya.

”Benar. Kemarin mereka pergi setelah kita beri makan, sekarang datang lagi!” Ujar ayahnya.

”Bisa tidak ayah membuat kesepakatan dengan mereka?” Sang istri menganjurkan.

”Mungkin itu solusinya!” Ayah keluar rumah sambil membawa sekeranjang makanan untuk makhluk-makhluk itu.

Seperti ada pembicaraan antara ayah dan para pendatang liar. Akhirnya terjadi kesepakatan. Untuk sementara mereka dibiarkan berkeliaran di luar rumah sebagai penjaga dan diberi makan, asal tidak mengganggu.

”Kita harus bersabar, mereka terpaksa kita jadikan anjing penjaga untuk rumah kita!” Kata ayah pada seluruh keluarga.

”Mungkin itu kelas mereka!” Kata Sang Ibu.

(Ali Shodiqin)

Di Atas Angin

Di atas angin menurutku ungkapan yang menunjukkan strata tinggi. Keberhasilan yang sempurna. Tak tertandingi.

”Sukses luar biasa!” Seruku kencang-kencang.

Bagaimana jika yang di atas angin itu angin? Akulah angin itu!

Setiap hari aku mengembara menggiring uap, menggiring udara, menggiring hawa. Setiap yang kulalui akan mengalami peristiwa yang berbeda-beda. Ada panas, dingin, hujan, bahkan badai.

Namun ada peristiwa yang membuatku menggigil. Baru saja aku bertemu taufan. Tidak saja ia membawa badai, tapi bencana. Dan aku pun mesti menjauh sejauh-jauhnya, apalah artinya aku sebagai angin.

(Ali Shodiqin)

Mangga Jatuh

Hari Minggu, sebuah keluarga kaya berlibur. Dalam perjalanan, mereka sepakat untuk berhenti di hamparan kebun yang banyak ditumbuhi pohon mangga yang tengah berbuah. Mereka menggelar tikar di bawah pohon mangga yang sejuk untuk makan-makan.

”Yah, kebun ini indah. Milik siapa ya?” Tanya sang anak pada ayahnya.

”Ayah tidak tahu. Pastinya, yang punya kebun ini orang kaya!” Jawab ayahnya.

Tiba-tiba datang seorang pria bersama anaknya. Ayah dan anak yang baru datang itu berteduh di bawah pohon mangga sebelahnya. Sang anak bahkan memanjat dan mengambil beberapa buah yang matang. Mereka mengupas mangga dengan sabit dan memakannya.

”Yah, mereka orang miskin ya, kok ambil mangga orang sembarangan!” Komentar sang anak orang kaya dengan berbisik.

”Mungkin gelandangan!” Ayahnya menimpali. Maklum orang yang baru datang itu bajunya ala penyabit rumput.

”Pasti mereka iri melihat kita bisa makan-makan di sini!” Sang anak takabur.
Sang ayah dan ibunya hanya senyum-senyum.

Sejurus kemudian di dekat keluarga yang sedang liburan itu jatuh sebuah mangga matang.

”Yah, boleh tidak saya ambil?” Tanya sang anak.

”Boleh!” Jawab ayahnya.

Keluarga kaya itu gembira makan mangga jatuh.

”Kriing....!” Terdengar suara handphone.

Ternyata dari bawah pohon mangga sebelah.

”Okey Pak. Saya sudah menunggu di kebun. Hari ini Bapak bisa membeli buah mangga saya semuanya untuk dikirim ke Jakarta!” Terdengar ucapan pria itu sambil memegang handphone di telinganya.

Keluarga kaya pada bengong. Terdiam. Mereka segera mengemasi barang-barangnya dan kembali ke mobil tanpa berkomentar apa-apa.

(Ali Shodiqin)

Sebuah Pencarian

Kampung saya banyak sekali orang-orang yang belajar ilmu beladiri. Hampir separo pria di kampung ini adalah pesilat. Resiko dari perkampungan silat adalah banyaknya pertandingan silat. Entah itu yang resmi lomba maupun semacam pertandingan adu kekuatan antar kelompok.

Siang ini saya terjebak pada sebuah pertandingan, lebih tepatnya sebuah pertengkaran, antara dua orang yang memperebutkan uang banyak. Uang itu adalah hasil dari teman-temannya yang mengadunya layaknya ayam jantan.

Dua pria itu kekuatannya seimbang. Saling tendang sudah berlangsung hampir satu jam, namun belum ada yang menampakkan kemenangan. Pada akhirnya, harus ada juga yang kalah. Salah satu dari mereka tumbang dan menyerah.

Yang menang pun membawa segebok uang. Cukup untuk makan setengah tahun tanpa harus bekerja. Yang kalah dipapah pergi dari tempat laknat itu. Saya pun terpaksa memapah yang menang juga, karena pada akhirnya ia loyo dan jatuh juga setelah semuanya pergi.

Sesampai di rumahnya, sang jagoan jatuh sakit. ”Sepertinya tidak ada artinya aku menang. Uang ini kau bawa saja, untukmu dan untuk orang-orang lain yang membutuhkannya.”

”Lho Pak, setelah kau bersusah payah merebutnya, uang ini untuk orang lain?” Tanyaku panik.

”Benar! Siapa saja yang mengumpulkan harta, pada akhirnya harta itu untuk orang lain juga!”

Tidak lama kemudian sang jagoan meninggal. Luka dalam!

Saya tercenung dengan pesan terakhir Pak Jagoan. Dengan susah payah harta dikumpulkan, ditumpuk saja, toh pada akhirnya orang sesudahnya yang menikmati. Alangkah ruginya jika harta itu dipakai foya-foya orang lain tanpa pernah diamalkan pemilik sebelumnya. Beruntunglah Pak Jagoan, telah menyampaikan pesan luhur ini sebelum ajalnya.

(Ali Shodiqin)

Pulang Kampung

Seorang anak lahir di kampung itu. Sebuah kampung pinggiran tapi penuh dinamika. Sebagaimana kampung lainnya, terkadang kemiskinan menggejala dengan tidak diimbangi kepedulian yang lain.

Seperti anak itu, ia menghuni gubuk reot yang berdiri di antara dua gedung megah tetangga. Tak ada sentuhan nurani dari mereka walaupun sekedar sebatang tiang agar rumah itu tidak miring.

Usia remaja memaksanya harus pergi merantau, meninggalkan sang Ibu yang tua, kerja serabutan. Kerasnya negeri orang menempa jiwanya hingga ia pulang kembali seperti seorang pendekar. Layaknya seorang Malin Kundang. Walaupun ia tidak bergelimang uang, tapi ia menemukan dirinya dewasa. Walaupun masih miskin, ia tampak sahaja dan berwibawa.

”Kemana ibuku, Pak Lurah?” Tanya anak rantau itu pada Pak Lurah yang tampaknya sudah berganti, setelah ditemukan rumahnya yang sudah rata. ”Kemana pula rumahku?”

”Maaf Nak, ibumu sudah meninggal dunia. Rumahmu disertifikatkan orang lain. Saya kurang tahu awal kejadiannya,” Pak Lurah menjelaskannya dengan rasa khawatir, takut menghadapi kemarahannya dan sekaligus kasihan.

Anak itu terisak pelan. Tak ada kata yang keluar dari lisannya. Dari keterangan Pak Lurah, pernah ada peristiwa yang membuat desanya kacau. Ibunya meninggal secara wajar, tapi penduduk-penduduk sekitarnya terlibat kekacauan yang sulit dijelaskan. Sebuah kekacauan yang berlangsung lama sehingga melumat peradaban.

(Ali Shodiqin)

Yang Lapar, Yang Kenyang

Saya hanya bisa pasrah dengan peristiwa yang terjadi hari ini. Baru saja saya kedatangan pejabat yang terhormat. Wakil rakyat. Entah karena merasa telah mewakili rakyat, ia selalu kelaparan. Jatah makan sehari untuk keluargaku yang dimasak istriku dimintanya. Dengan dalih, ia bersama kawan-kawannya perlu makan bersama untuk mengiringi sebuah acara seremonial.

Padahal sebelumnya, ketika saya melintas sebuah toko oleh-oleh, ia bersama rombongannya belanja makanan yang cukup banyak. Makanan berkelas itu ditampung di mobil plat merah. Dengan jas kehormatnanya yang berwarna hitam, ia usung keranjang makanan yang bikin ngiler orang miskin seperti kebanyakan rakyat kita. Padahal di Yogyakarta, rakyat pada bergumul mencari selamat karena letusan gunung Merapi, dan menghindar dari amukan badai laut bagi rakyat Mentawai.

Tidak lama kemudian, datang preman yang perkasa di rumahku. Ia tidak butuh makanan atau minuman. Ia hanya butuh sedikit uang untuk membeli rokok. Saya pun merogoh kocek agar ia lekas pergi.

Jadi tidaklah salah jika saya dan istriku hanya bisa pasrah, apa yang akan terjadi selanjutnya?

(Ali Shodiqin)

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...