Selasa, 14 Agustus 2012

Silaturrahim Ala Anak MTs

Anak saya Almas sudah naik kelas 2 MTs Lasem. Di bulan Ramadhan 2012, mulai pertengahan puasa gurunya mempunyai program silaturrahim antar anak-anak. Anak-anak dibuat berkelompok-kelompok. Setiap kelompok ada 5 anak. Satu kelompok itu supaya saling mengunjungi ke rumahnya masing-masing. Rupanya program silaturrahim macam kelas dua MTs Negeri Lasem ini cukup membuat anak-anak senang. Diantara mereka kemudian terjalin semacam keakraban yang tidak terlupakan. Mereka menjadi teman, karib, sahabat dan bahkan saudara. Mula-mula mereka mengunjungi salah teman yang ada di Lasem. Di sana mereka bercengkerama beberapa jam di rumah teman. Terkadang di rumah teman itu ditemui orang tua, kadang tidak. Seperti ketika berkunjung ke teman satunya lagi di lain hari, mereka ditemui orang tuanya lengkap. Walau kemudian orang tuanya melanjutkan kesibukan lain, memberi kesempatan anak-anak saling berinteraksi. Terkadang pula, anak saya mendapat oleh-oleh dari berkunjung itu. Pernah mendapat tiga buah kelapa muda. Masih diantar ke jalan, dapat uang saku pula. Ada yang memberi oleh-oleh sandal kembar berlima plus jajanan untuk dibawa pulang. Rumah yang paling jauh dikunjungi adalah di tempat anak saya, ya rumah saya ini. Di kota Rembang. Saya pas kerja, ditemui Umiknya. Silaturrahim di rumah lancar-lancar saja. Saya nyaris menduga, di rumah ini mereka tidak dapat buah tangan apa-apa. Rupanya meleset. Istri saya memberi oleh-oleh masing-masing sebuah kerudung dan uang saku. Mendengar pengakuan anak saya, saya hanya bisa berucap Alhamdulillah. Senang dan haru. Semoga silaturrahim yang dicanangkan oleh MTs Negeri Lasem ini mendapat Ridho Allah SWT. Amin. (Ali Shodiqin)

Niat Olahraga, Dapat Sepeda Mahal

Pada hari ulang tahun Bhayangkara Tahun 2012 Kabupaten Rembang diadakan sepeda santai mengelilingi kota. Acara yang diselenggarakan oleh kesatuan Polisi itu diadakan untuk umum dan gratis. Sudah gratis, hadiahnya bajibun pula. Tiga sepeda motor, puluhan sepeda berbagai macam merek, televise, jam dinding, dan hadiah hiburan lainnya. Istri saya dan tiga orang anak saya ikut sepeda santai yang diselenggarakan hari Sabtu itu. Sebelumnya memang istri saya diberi tahu tetangga yang kebetulan suaminya seorang polisi. Untungnya di rumah ada tiga buah sepeda, jadinya semuanya ikut kecuali saya, karena saya mesti masuk kerja. Istri memboncengkan anak yang kecil, yang dua sudah SMP dan SD naik sepeda sendiri-sendiri. Dengan hadiah yang banyak itu, tentu kami berharap dapat hadiah utama, sepeda motor misalnya. Tapi buru-buru istri menimpali. “Sudahlah, tidak usah berharap banyak mendapat hadiah. Kita niati ikut sepeda santai ini untuk olah raga saja!” kata istri saya kepada anak-anak. Barangkali maksud istri saya, jika tidak dapat hadiah biar tidak kemrungsung. Tampaknya anak-anak mengiakan. Tapi di batin saya tetap berharap mendapat sepeda motor. Betapa senangnya jika benar mendapat sepeda motor. Acara sepeda santai berlalu dengan lancar. Saya di kantor hanya bisa berdoa, harap-harap cemas semoga dapat hadiah sepeda motor. Saya tidak merasakan, betapa melelahkan ikut sepeda santai. Terutama istri saya yang memboncengkan si kecil sambil menggiring anak-anak. Padahal rutenya cukup jauh. Waktu dzuhur telah tiba. Tiba-tiba saya dapat sms dari istri saya. “Mas, Alhamdulillah dapat hadiah sepeda!” Demikian SMS istri. “Alhamdulillah…..!” Ucap saya girang. Segera saya menelepon istri. “Bagaimana dik? Dapat Sepeda?” Tanyaku gembira. “Ya Mas. Nih sudah diambil!” “Ndak dapat sepeda motor?” Tanyaku setengah iseng. “Dapat sepeda sudah Alhamdulillah Mas!” “Okey. Alhamdulillah!” Ternyata kupon yang keluar milik anak saya yang kedua. Zahwa namanya, kelas Empat yang baru beberapa hari naik ke kelas lima. Hadiahnya sepeda merk Wim Cycle warna merah berjenis ‘kelamin’ laki-laki. Saya coba tawarkan untuk ditukar dengan sepeda perempuan, ia tidak mau. Katanya lebih asyik. Hadiah sepeda itu menjadi semacam hadiah untuk kenaikan kelas Zahwa. Ngomong-ngomong, sebenarnya istri saya sudah merencanakan untuk menjual dua dari tiga sepeda, untuk kemudian dibelikan sepeda yang lebih baik. Tujuannya agar lebih layak dipakai Zahwa ke sekolah. Karena selama ini Zahwa bersemangat naik sepeda sendiri ke sekolah, tidak lagi saya antar. Tapi Allah SWT telah memberikan rizki untuk Zahwa sepeda baru yang harganya berkisar Rp. 1.750.000,- itu. Saya lantas ingat ucapan istri saya sebelumnya. “Kita ikut sepeda santai diniati olah raga saja!” Niat yang baik ternyata berbuah hadiah sepeda yang bagus. Alhamdulillah. (Ali Shodiqin)

Senin, 13 Agustus 2012

KALA ZAHWA PUASA SIANG

Sejak Zahwa masih kelas TK, ia sudah berusaha ikut puasa Ramadhan. Dasar masih TK, puasanya tentu sekuatnya saja. Ikut sahur, tapi siangnya sudah berbuka puasa. Seperti hari itu, siang-siang ia hendak makan, berbuka puasa. Tiba-tiba kakaknya Bila namanya, datang dari sekolah SD. Segera Umiknya membisiki Zahwa sesuatu. “Dik Zahwa, kalau makan tidak boleh terlihat oleh orang yang berpuasa sampai Magrib. Makanya masuk kamar, sebelum ketahuan Kak Bila!” Kata Umiknya. Zahwa paham. Segera ia masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Tiba-tiba Zahwa berseru dari dalam kamarnya. “Kak, jangan masuk ke kamar ya. Aku sedang makan, Kakak tidak boleh tahu!” Kata Zahwa sambil menjejali mulutnya dengan nasi. Tentu saja kami tertawa ngakak mendengar ucapan Zahwa. Ia bermaksud makan dengan diam-diam, tapi akhirnya malah tahu semuanya. (Ali Shodiqin)

Celana Khusus Untuk Sekolah

Hilma sudah naik ke kelas B, TK Negeri Rembang. Suatu hari Umiknya membelikan dua buah celana dalam. Betapa senangnya Hilma. Sampai-sampai label celananya tidak boleh dilepas. Pagi itu, walaupun Hilma masih ogah-ogahan masuk sekolah, tapi semangatnya bersekolah timbul begitu ditunjukkan celana dalam baru miliknya. Jam Sembilan Hilma pulang dari sekolah. Seperti biasa, ia begitu bersemangat, dan berseri-seri. Sesampai di rumah ia langsung lepas celana dalam dan pergi ke kamar mandi untuk pipis. Sehabis buang air kecil ia tidak mau lagi memakai celananya. Minta ganti celana lainnya. “Lho, mengapa tidak dipakai lagi, Hilma?” Tanya Umiknya heran. “Ndak ah. Besok dipakai lagi kalau pergi ke sekolah!” Jawab Hilma mantap. “Ndak pa pa. Pakai aja, kapan-kapan dibelikan lagi!” Kata Umiknya lagi. Tapi Hilma tetap tidak mau pakai. Ya sudah, celana dalam baru itu disimpan kembali. Benar saja, besoknya celana dalam itu dipakai lagi. Setelah itu barulah ia mau ganti karena sudah semestinya celananya harus dicuci. (Ali Shodiqin)

Selasa, 07 Agustus 2012

SEPAK BOLA DUNIA LAIN

Seorang pria paruh baya tampak terseok-seok mendekati sebuah pohon rindang dipinggir kota. Tampaknya dia hendak beristirahat di sana. Seharian dari pagi hingga siang meniti jalan, mendatangi rumah ke rumah, menadahkan tangan kepada setiap orang yang ditemui alias mengemis. Profesi yang dilakoninya itu semenjak ekonominya makin morat-marit. Apalagi fisiknya yang lemah dan makin membesarnya sakit gondok di lehernya. Siapa saja yang melihat kondisinya yang mengenaskan itu akan merasa sangat iba. Dan itulah salah satu modalnya untuk mengemis. Namun akhir-akhir ini ia merasakan sekali perubahan. Sejak BBM naik dan harga-harga melambung, orang-orang makin pelit saja untuk menyisihkan recehan buat pengemis. Penghasilan mengemis pun nyaris tak cukup untuk keluarga. "Peduli amat dengan orang pelit! Lebih baik istirahat dulu, ah!" desah lelaki itu sambil meletakkan pantatnya di atas tanah yang nyaris tertutup dengan daun pohon rindang itu. Batinnya menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan Maha Adil. Saking lelahnya, apalagi di bawah pohon yang sejuk ditambah terpaan angin semilir, menjadikan pengemis itu mengantuk. Kepasrahan yang total kepada Yang Kuasa, menjadikan dia tak merasakan kekuatiran apa-apa tidur di bawah pohon besar sendirian nan sunyi. Sementara itu di dunia lain, tampak dua anak kakak beradik keturunan jin yang bermukim di pohon itu tengah asyik bermain. Ding dan Dong saling berebut dan saling menendang bola emas yang menggelinding bebas di bawah pohon itu. Rupanya demam sepakbola tidak hanya melanda umat manusia di dunia, di dunia jin pun pada demam bola. Tentu saja kegaduhan dua anak itu tak akan dirasakan oleh pengemis, karena mereka berada di dunia lain. Setelah lama bermain, sang adik yang bernama Dong itu berhenti menendang. "Capai sekali Kak! Lama-lama kakiku sakit, habis bolanya keras sih!" kata Dong sambil menyandarkan tubuhnya pada pohon. "Kok tidak ada bola yang empuk dari kulit ya?" kata Dong lagi. Ding hanya tersenyum mendengar keluhan adiknya. Dia berpikir keras, bagaimana caranya agar bisa mengajak adiknya bermain sepak bola lagi. Tiba-tiba matanya menemukan sesuatu yang dicari-cari. "Dong! Lihat ada bola empuk seperti yang kau maksud!" kata Ding sambil menunjuk bola yang 'nangkring' di leher pengemis yang tertidur di bawah pohon. Mereka segera berhambur mendekat. "Wow! Bola yang bagus! Pasti mahal!" kata Dong sambil meraba-raba gondok pengemis yang dianggapnya bola itu. "Kak Ding bisa mengambilnya?" Pinta Dong pada kakaknya. "Akan aku coba!" Dengan ilmu dunia jin tentunya, bola yang tak lain gondok pengemis itu ditariknya hingga lepas. Tak ada bekas sama sekali jika gondok itu diambil oleh makhluk halus. "Kak, sebagai gantinya, bola emas ini kita letakkan saja di dekat leher orang ini. Kasihan jika dia mencari bolanya yang hilang!" Usul Dong. "Usulmu bagus! Semoga dia tidak marah telah kita tukar bolanya!" ujar Ding. Sejurus kemudian, Ding dan Dong tampak bersemangat bermain bola lagi. Kali ini bolanya empuk dan nyaman ditendang. Hampir satu jam pengemis itu terlelap. Setelah bangun ia mendapati badannya terasa lebih segar dan ringan. Lama ia termenung, apanya yang beda? Barulah disadari gondoknya telah kempes tanpa bekas. Dan lebih terkejut lagi ia menemukan bola emas yang terletak di sebelahnya. “Apa yang barusan terjadi padaku?” Gumamnya tak mengerti. Tanpa ba bi bu, segera bola emas itu dimasukkan ke kantong perbekalannya dan segera pulang. Rupanya anak-anak dan istrinya sedang di luar, sehingga mereka pada kaget melihat perubahan besar pada diri ayahnya. "Ayah sembuh! Ayah sembuh.....!" Teriak anak-anaknya menyambut kedatangan sang ayah dengan penuh sukacita. Ayah mereka kini sehat wal afiat, tanpa gondok lagi. Rupanya, keceriaan hari itu adalah awal kebahagiaan mereka. Tidak lama kemudian kehidupan keluarga pengemis itu berubah makmur. Ia banting setir, beralih profesi. Pengemis itu menjual emasnya sedikit demi sedikit untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk modal kerja. Tidak lagi mengemis tapi mencoba menjadi seorang pedagang yang baik. Kini keluarga pengemis itu memiliki sebuah toko kelontong yang besar. Tak ayal, perubahan yang super cepat itu membuat salah satu tetangganya iri hati. Kebetulan tatangga yang iri ini adalah orang kaya yang terkenal pelit. Si Pelit mencoba mendekati mantan pengemis itu untuk mengorek keterangan, darimana gerangan hartanya itu. "Tolonglah saya diberitahu, darimana harta kamu yang sekarang melimpah itu!" Kata Si Pelit kepada mantan pengemis setengah memaksa. "Sudah berkali-kali saya jawab, saya dapat rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa!" Jawab mantan pengemis komplit. Namun Si Pelit terus mendesak. Sudah tahu rejeki itu dari Tuhan, tapi pasti ada jalannya juga. Karena dipaksa-paksa terus, maka mantan pengemis memberitahunya juga. Siang itu matahari teramat terik. Matahari sudah mencapai di tengah, menjelang luhur. Tampak Si Pelit dengan diam-diam pergi ke sebuah pohon seperti yang diceritakan mantan pengemis. Dia tidak sedang apa-apa, hanya hendak tidur. Walaupun tidak bawa tikar, dia bawa bantal juga, agar tidurnya nyaman. Dan dia benar-benar bisa tidur. Di dunia lain, Ding dan Dong tengah bermain sepak bola. Tampak di wajah Dong, sang adik, diliputi kebosanan. "Kak, rasanya terus-menerus pakai bola ini kok bosan. Kita kembalikan saja yuk!" Kata Dong pada kakaknya. "Bisa! Tuh pemiliknya telah kembali ke sini!" Kata Ding menunjuk orang tidur tidak jauh dari tempatnya bermain. "Tapi kemana bola kita?" Tanya Ding yang tidak menemukan bola emasnya lagi. "Ah, peduli amat Dik! Biar saja bola hilang. Kan ayah kita bisa mengambil harta karun yang lain. Masih ada harta karun dari situs Pajajaran, ada emas cadangan dana revolusi, dan masih banyak lagi emas terpendam yang konon peninggalan Majapahit!" Kata kakaknya. Kakak beradik dari bangsa jin itu sepakat. Maka serta merta Ding meletakkan kembali bola empuk yang nyaris kedodoran itu di leher orang tidur. Bola itu menempel dengan sempurna dan menyatu ke leher orang tidur itu. Sesaat kemudian, Si Pelit terbangun. Alangkah terkejutnya dia, bukannya bola emas yang dia dapat, malah penyakit gondok besar telah tumbuh di lehernya. Seketika dia tidur kembali, alias pingsan! Untunglah tetangga-tetangganya telah menemukan Si Pelit, sehinga dia dibopong ramai-ramai ke rumahnya. Betapa menyesalnya Si Pelit, kenapa dirinya menjadi orang yang mudah iri hati, tidak mensyukuri kenikmatan dari Tuhan yang telah diberikan padanya? (Kang Diqin)

BUTO TERONG DAN TUKANG SATE

Kerajaan Murajahe adalah kerajaan yang makmur. Rajanya seorang yang gagah perkasa, pemberani, dan jago perang. Namanya Raja Hurduk. Rakyatnya merasa tentram dipimpin olehnya. Ketentraman kerajaan Murajahe tiba-tiba terusik dengan datangnya makhluk raksasa yang muncul tiba-tiba dari arah laut selatan. Tubuhnya besar dan gendut, tingginya dua kali orang dewasa. Matanya bundar dan besar dengan hidung seperti buah terong. Raksasa itu datang di kota raja membuat keonaran. “Ada Buto Terong….. Ada Buto Terong!” Teriak orang-orang begitu melihat kedatangan raksasa yang mirip Buto Terong dalam dunia wayang. Hingga sampailah raksasa Buto Terong itu di sebuah pasar. Seluruh penghuni pasar lari tunggang langgang. Raksasa menendang lapak-lapak dan mengobrak-abriknya. Sesaat kemudian matanya melotot lebar begitu dilihatnya banyak makanan melimpah di sana. Segala makanan apa saja segera dilahapnya setelah ditinggal lari pemiliknya. Tentu saja kedatangan raksasa bikin resah rakyat Murajahe. Rakyat pada bersembunyi di rumah masing-masing. Ekonomi kerajaan Murajahe terancam bangkrut. Maka datanglah bala tentara kerajaan untuk mengusirnya. Namun sia-sia, raksasa sangat tangguh. Berapapun pasukan dikerahkan untuk menghancurkannya, tetap saja ia yang menang. Pasukan kerajaan dibuatnya kocar-kacir. Kekalahan pasukan kerajaan memaksa raja Hurduk untuk turun tangan. Dihadapinya raksasa satu lawan satu. Mereka duel laksana dua jagoan yang lama tidak bertemu. Namun raja yang dikenal petarung ulung itu dengan mudah dikalahkan. Dengan kalahnya sang raja, maka raja harus menuruti segala kemauan raksasa, yaitu menyediakan rumah dan makanan setiap hari. Jika tidak, ia akan mengobrak-abrik kerajaan Morarino hingga hancur. Terpaksa Raja Hurduk setuju. Raksasa diberi sebuah rumah yang besar untuk tempatnya tidur. Rakyat digilir untuk mengirim makanan ke raksasa yang rakus itu. Tentu saja rakyat Murajahe makin susah, karena makannya raksasa sangat banyak. Segera Raja Hurduk mengumumkan kepada rakyatnya, siapa saja yang bisa mengalahkan raksasa akan diberi hadiah besar. Rupanya tidak mudah mencari orang yang berani menghadapi Buto Terong. Sayembara sepi peminat. Selama belum ada yang bisa mengalahkan raksasa, rakyat terus mengirimkan makanan ke raksasa. Hingga suatu hari datanglah seorang tukang sate yang terkenal bisu bersama anaknya yang masih remaja. Namanya Pak Kuntrung dan Si Kenting. “Apa yang akan kalian lakukan terhadap raksasa?” Tanya Raja Hurduk melihat kedatangan Pak Kuntrung dan Si Kenting dengan pikulan sate ayamnya. “Maaf Baginda. Kami akan mencoba melayani makannya raksasa dulu, setelah itu kami akan mengusirnya dengan cara kami,” kata Kenting mewakili ayahnya yang bisu. Pak Kuntrung hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala mengiringi ucapan anaknya. “Dengan apa kalian mengusirnya?” Raja makin penasaran. Apalagi dilihatnya tukang sate itu sudah tua, dan anaknya masih remaja pula. “Maaf Baginda. Kami belum bisa mengatakannya. Takut tidak berhasil. Kami hanya minta didoakan semoga membawa kemenangan!” Kata Kenting hati-hati. Raja mengambil nafas panjang. Hatinya masygul. Mau tidak mau ia harus melepas warganya yang tampak tidak berdaya itu menghadapi raksasa Buto Terong. Siang itu Pak Kuntrung dan anaknya datang ke tempat raksasa untuk setor makanan sebagaimana giliran rakyat memberi makan. Melihat kedatangan Pak Kuntrung dan anaknya yang tampak tenang, raksasa merasa heran. Biasanya orang datang memberi makan sambil takut-takut, setelah itu segera kabur. “Kalian membawa makanan macam apa untuk makan siangku?” Tanya raksasa sambil terbengong-bengong menyaksikan tukang sate yang hendak memanggang sate. Dengan mimik orang bisu, Pak Kuntrung menjawab dengan gerakan tangan. “Apa yang dikatakannya?” Tanya raksasa setelah menyadari tukang sate itu bisu. “Kami akan membuat sate ayam untuk tuan raksasa!” Kata Kenting. “Sate ayam? Apa itu?” Tanya raksasa. Selama ini yang dimakan raksasa adalah nasi sama ayam yang dimasak utuh, atau kambing yang dipotong besar-besar. Atau ketela rebus yang besar-besar dengan jumlah banyak. “Sate terbuat dari daging ayam atau kambing yang dipotong-potong, disunduk pakai lidi. Lalu dibakar sampai matang dan diberi bumbu,” kata Kenting menjelaskan. Raksasa geleng-geleng kepala. Tak lama kemudian sate ayam dengan ukuran yang agak besar sudah matang. Kemudian disajikan dihadapan raksasa beserta seember nasi. Raksasa makan sate dengan lahap. “Lezat sekali! Aku belum pernah makan seenak ini!” Kata raksasa berbinar-binar. Dengan cepat raksasa melahap makanannya. Dalam waktu singkat makanannya habis tak tersisa. “Heh, tukang sate yang baik! Aku ingin tahu, biasanya sate itu terbuat dari daging apa saja?” Tanya raksasa sambil mengelus-elus perutnya yang kekenyangan. “Apa saja bisa tuan! Sate sapi, sate kuda, sate kerbau, bahkan dari makhluk galak!” Jawab Kenting meyakinkan. “Makhluk galak? Kalian bisa menangkapnya?” “Tentu saja. Lihat saja ayah saya yang bisu. Dia terbiasa membunuh makhluk galak tanpa berucap. Begitu saja makhluk itu tertangkap dan terbunuh!” Raksasa diam sejenak. Hatinya mulai gelisah. Ia mengawasi ulah tukang sate dan anaknya yang seperti mempersiapkan sesuatu. “Untuk siapa saja kalian membuat sate dari makhluk galak?” Raksasa makin penasaran. “Siapa saja boleh memesan tuan. Biasanya yang pesan sate makhluk galak itu bangsa gendruwo!” Jawab Kenting sambil menghunus parang besar dan diberikan ayahnya. Mendengar kata gendruwo, raksasa itu tampak kaget. “Kamu hari ini dapat pesanan dari gendruwo apa tidak?” Tanya raksasa begitu dilihatnya Pak Kuntrung mengasah parangnya. “Iya tuan. Ada tiga gendruwo pesan tiga makhluk galak. Tapi hari ini kami hanya menemukan satu makhluk galak!” Mendengar jawaban Kenting, mata raksasa melotot lebar. Siapa makhluk galak itu? Pikirnya was-was. Apalagi Pak Kuntrung yang bisu itu mengawasi dirinya sambil komat-kamit. “Makhluk galak itu……..makhluk…. makhluk apa?” Tanyanya dengan nada gemetar. “Maaf tuan. Makhluk galak itu seperti tuan raksasa!” Kata Kenting masih tenang. Bak petir di siang bolong begitu raksasa mendengar jawaban Kenting. Ia mundur selangkah. Apalagi ketika dilihatnya Pak Kuntrung juga mengeluarkan tali bergulung-gulung, dan beberapa pisau kecil seperti ketika hendak membuat sate. Tidak itu saja, Pak Kuntrung memberi isyarat kepada Kenting agar membesarkan apinya. Kenting segera tanggap. Api di perapian sate ditambah arang yang banyak, setelah itu dikipasi. Api menyala makin besar. Sementara Pak Kentrung berjalan ke depan hendak menutup pintu rumah sambil membawa parang yang sudah mengkilap. “Jangan…!! Jangan…!” Teriak raksasa ketakutan. Yang ada dibenak raksasa pastilah ia akan dibuat sate oleh Pak Kentrung dan anaknya yang hebat itu. Tanpa melihat-lihat lagi, raksasa itu kabur menabrak pintu yang baru saja ditutup. “Gubrak….!!!” Pintu roboh kena tendangan kakinya. Raksasa kabur dengan begitu cepatnya. Ia lari terbirit-birit ke arah pantai selatan kemudian berenang menuju sebuah pulau entah di mana tempatnya, tidak ada yang tahu. Rakyat yang kebetulan melihat kaburnya raksasa Buto Terong pada bersorak gembira. Raja Hurduk yang mendengar keberhasilan tukang sate sangat gembira, namun sekaligus terheran-heran. “Apa yang barusan dilakukan tukang sate dan anaknya?” Batin Raja tak habis pikir. Segera mereka berdua diundang ke istana raja untuk menceritakan apa yang telah dilakukan Kenting dan ayahnya. Di istana, Raja Hurduk beserta seluruh puggawanya terbahak-bahak mendengar cerita Kenting yang bisa mengalahkan raksasa tanpa pertarungan sama sekali. Raja sangat puas akan kecerdikan Pak Kentrung dan Kenting. Mereka memperoleh hadiah besar. Tidak itu saja, Kenting disekolahkan oleh Raja Hurduk hingga dewasa. (Kang Diqin)

OM BAK YANG RAJIN BEKERJA

Dia orangnya tidak mau berpangku tangan. Setiap hari, setiap saat pekerjaannya adalah membawa gelombang laut menuju pantai, sehingga membuat suasana laut selalu bergerak. Seluruh makhluk hidup di laut pada senang, karena dengan adanya gelombang berarti ada kehidupan di laut. Mula-mula ia datang dari tengah laut, bergulung-gulung membawa gelombang menuju pinggir. Setelah ia berjalan sambil menyapa seluruh penghuni laut yang dilaluinya, barulah ia menghambur ke pantai yang landai. Air pun pecah di hamparan pantai yang landai. Bermain-main sebentar, tidak lama kemudian segera kembali ke tengah laut untuk mengulang lagi pekerjaannya. Dialah Bak-Bak. Saya biasa memanggil Om saja. Atau Om Bak. Sesaat setelah aku turun dari langit lewat hujan, aku bertemu Om Bak di samudra luas. Sejak awal bertemu aku sudah kagum dengan semangatnya dalam bekerja keras. Suatu hari ketika aku bermain, berkecipak bersamanya. “Om, apa yang Om cari dengan bekerja setiap hari tanpa henti?” Tanyaku suatu hari. “Aku tidak mencari apa-apa kecuali hanya bekerja atas perintah Tuhan, tidak lebih!” Jawab Om Bak. “Wow. Om baik sekali, dong!” Om Bak hanya tertawa. “Aku adalah bagian dari kehidupan laut yang dihuni makhluk air yang beraneka ragam. Mereka menyukai pekerjaanku!” Om Bak menjelaskan. Hari itu aku mengikuti Om Bak bergulung-gulung menuju sebuah pantai. Seperti biasa, Om Bak menyapa siapa saja yang dilaluinya. “Itu sedang apa Om Bak?” Tanyaku begitu melihat ada orang yang terapung-apung di atas sebuah lesung. “Itu orang naik sampan, mencari ikan teri! Aku menyebutnya nelayan!” Jawab Om Bak. “O, begitu!” “Halo Pak Nelayan, selamat bekerja!” Sapa Om Bak disambut gembira si nelayan. Nelayan sangat dibantu oleh Om Bak, karena dengan adanya ombak ikan-ikan pada bermunculan ke permukaan. “Lihat ada lagi. Dia membawa apa itu?” Aku melihat pak nelayan di atas perahu lebih besar sambil melemparkan sesuatu ke laut. “Itu nelayan juga. Hanya dia mencari ikan yang lebih besar dengan jarring besar.” “Lihat! Ada yang terapung-apung!” Aku berteriak melihat orang terapung. “Dia pasti orang hendak tenggelam. Biar aku yang mendorongnya ke pinggir!” Om Bak segera mendorong orang itu. “Byuurr….!!!” Orang itu didorong Om Bak dengan gelombangnya. Begitu terus menerus hingga mendekati pantai. Dan orang-orang pun pada berhamburan menolong orang yang malang itu. Sementara aku dan Om Bak terus bergulung ke pinggir, menerjang pantai yang indah. Kulihat orang yang tengah ditolong ramai-ramai tadi direbahkan di pantai. Syukurlah ia selamat. Aku tidak bosan-bosan mengikuti Om Bak mengembara. Suatu hari, ketika dalam perjalanan membawa gelombang laut, Om Bak tidak menemukan pantai yang landai. Yang ada adalah gunungan tanah urug untuk menimbun pantai. Sepertinya akan dijadikan pemukiman baru di sana. Apa yang terjadi kemudian? Om Bak yang giat bekerja itu menabrak gundukan tanah yang tinggi. Aku pun ikutan menghantam urugan tanah lalu tergelincir ke bawah. Aku mengikuti kembali larinya Om Bak ke laut. Tampak ia merasa amat dongkol. “Manusia itu kurang kerjaan. Bukankah pantai itu haknya segala makhluk, termasuk manusia dan aku sendiri sebagai ombak!?” Kata Om Bak sewot. “Memangnya Om Bak punya hak apa terhadap pantai?” Tanyaku tidak mengerti. “Aku kan butuh tempat untuk memecahkan gelombang yang kubawa!” Jelas Om Bak. “Buat manusia jelas untuk berlabuhnya nelayan dan menjadi tempat wisata yang sangat berguna bagi kehidupan manusia!” “Lantas, Om Bak setelah ini mau ke mana?” Tanyaku agak khawatir, karena kulihat Om Bak berputar-putar di tengah laut. “Gelombangku berkumpul cukup besar! Aku harus mencari tempat lain untuk memecahkan gelombangku sampai bertemu pantai yang landai!” Aku melihat kepanikan Om Bak. Karena setelah dicoba berkali-kali ke pinggir laut, ia tetap menghantam gundukan tanah milik manusia. Jadilah gelombang yang dibawanya makin membesar di tengah lautan. Aku masih setia mengikuti pengembaraan Om Bak. Kali ini aku diajak ke pantai lain yang mungkin bisa untuk memecahkan gelombang besar. Betapa terkejutnya aku, tanpa bermaksud merusak, Om Bak menerjang pantai yang banyak didirikan rumah-rumah penduduk. “Maafkan aku manusia!” Teriak Om Bak bersama deburan gelombang yang menerjang dinding sebuah rumah. “Om Bak, bukankah rumah penduduk itu sudah lama ada di sana?” Tanyaku dengan perasaan iba kepada manusia yang terkena musibah. “Benar! Sebenarnya mereka tidak boleh membuat rumah di pantai. Dulu aku masih tidak tega menerjang mereka. Tapi kali ini aku tidak bisa kompromi. Mereka mesti tertabrak ombakku yang mulai sulit kukendalikan!” Kata Om Bak tampak risau. Apa yang terjadi di luar dugaan. Bagian belakang rumah-rumah penduduk ambrol dihantam ombak. Penduduk pada panik, mereka mengungsi dan mengambil barang-barangnya agar tidak hanyut. Sore itu langit mendung. Angin berhembus dengan kencang. Kulihat Om Bak makin tidak bisa mengendalikan ulah gelombang yang dibawanya. “Aku tidak suka angin kencang. Pasti akan parah jadinya!” Kata Om Bak dengan panik. Benar saja. Gelombang yang dibawa Om Bak makin besar dengan gerakannya yang makin cepat. “Byurr…!!!” Kembali ombak besar menghantam pemukiman manusia. Akibatnya, tidak hanya tembok belakang yang ambrol, tapi separuh rumah penduduk runtuh. Bahkan rumah penduduk lain ada yang roboh total dan terseret arus menuju lautan. “Oh Tuhan. Tolonglah mereka!” Bisikku begitu melihat rumah-rumah pada roboh. Kekuatan gelombang yang dibawa ombak yang mestinya pecah di pantai, menjadi dorongan yang kuat di tengah laut. Om Bak lantas kembali lagi ke pantai lain dengan kekuatan penuh dan gelombang yang makin besar pula. Akibatnya manusia juga yang menjadi korban atas ulah manusia lainnya. Begitulah, Om Bak akan mencari ganti ke pantai lain jika pantai landai yang biasanya dipakai bekerja tidak ditemukan lagi. (Kang Diqin)

PRIYO SI RAJA HUTAN

"Hooiii........!" Sebuah teriakan menggema di hutan lindung, tepatnya di kawasan hutan Mantingan Rembang Jawa Tengah. Para penghuni hutan, yang tak lain para binatang itu pun pada terkejut. "Hoo.....iii.......!" Sekali lagi teriakan itu terdengar, dan bahkan berkali-kali. "Hua..ha...ha....!" Kini suara tertawa-tawa. Tawanya keras sekali. Hantukah? Pemburukah? Atau bahkan Tarzan? Ah, itu kan hanya di dunia komik. Mau tak mau warga hutan terbengong-bengong penuh tanda tanya. Anak burung yang belajar musik berkicau mendadak berhenti latihan. Anak-anak monyet yang latihan bergelantungan nyaris saja jatuh karena kaget. Bahkan anak harimaupun tiarap, jangan-jangan ada pemburu yang tengah mencari buruan binatang buas untuk dikuliti dan dijadikan hiasan. Hii ngeri! Ada apa gerangan? "Ha...ha...ha.... aku Priyo, raja baru di hutan ini!" Rupanya dia bernama Priyo. Harimau muda, putra mahkota raja hutan yang kebetulan tahu keberadaan pendatang baru itu pun merangkak pergi kemudian lari terbirit-birit pulang ke istana gua tempat orang tuanya bersemayam, si Raja Rimba. "Romo...Romo......! Ada subversip!" Harimau putra berteriak-teriak keras. Sontak seluruh penghuni gua istana harimau itu pada jomblak! "Ada penyerangan Romo!" Lapor putra mahkota itu setelah menggelosor krenggosan. "Penyerangan?" Raja hutan yang dipanggil romo itu terkaget-kaget. "Si Mony! Selidiki apa yang terjadi!" Perintah Romo Hutan kepada dedengkot monyet. Sang ketua monyet yang dipanggil Mony itu segera melompat ke atas pohon dan bergelantungan dari dahan ke dahan. Gerakannya cepat menuju lokasi. Bermula ada seorang pemuda stress di sebuah desa terpencil di pinggir hutan. Dia banyak berulah, maklum orang gila. Suatu ketika orang tuanya memasungnya. Kakinya dimasukkan kayu berlubang agar tidak pergi kemana-mana. Namun suatu hari terlepas, gara-gara dia mengaku sudah sembuh dan ingin bebas. Ketika lepas itulah, diantara setengah sadar dan tidak alias setengah gila, pemuda yang bernama Priyo itu berlari ke arah hutan. Orang tuanya dibantu warga desa tidak bisa mengejarnya lagi. Hilang di tengah hutan. Karena pada putus asa, maka nasib si Priyo dipasrahkan saja pada yang kuasa yaitu Allah SWT. Si Mony, setelah tahu gelagat yang tidak beres perihal orang yang baru datang itu segera paham. "Dari tingkahnya seperti orang gila! Pasti dia kesasar!" Bathin Mony. Segera ia kembali ke rajanya. "Gawat Romo, yang barusan datang itu ternyata orang gila!" Kata Mony. "Apa? Orang gila?" Romo tercenung. "Justru ini masalahnya!" Benar saja kekuatiran sang Romo. Ulah Priyo makin tak terkendali. Lihat saja, dia langsung naik ke sebuah gundukan tidak jauh dari istana raja. "Hooiii.....! Saudara-saudaraku semuanya, warga hutan yang saya hormati!" Teriak Priyo menggema. "Mari kita berkumpul disini, kita adakan rapat akbar! Hooiii.....!" Demi mendengar panggilan aneh, masyarakat hutan pada berdatangan. Gajah, sapi, kancil, kijang, buaya, kodok, tikus, badak, ular, kelinci, babi, rusa, seliro, musang, kambing, bebek, ayam alas, burung, merak, beruang, kuda....... pada berdatangan. Raja hutan yang mengintip 'rapat akbar' itu menjadi masygul hatinya. "Dasar orang kurang waras! Aku belum pernah mengumpulkan wargaku sebanyak ini!" Gumam raja hutan itu menyaksikan banyaknya warga hutan yang berkumpul. Batinnya tidak terima dengan kelakuan Priyo yang tiba-tiba bisa mengendalikan massa hutan. "Saudara-saudaraku semuanya! Kita berkumpul disini untuk mengadakan reformasi total!" Suaranya berapi-api bagaikan seorang jurkakam (juru kampanye kampungan). "Mari kita dukung reformasi dalam dunia kebinatangan! Kita harus meningkatkan taraf hidup warga hutan agar lebih layak! Tidak akan ada BBM naik, tidak akan ada PLN naik, tidak akan ada sembako naik, tidak akan ada harga-harga naik! Harap kalian memahaminya!" Nyaris seperti kampanye bupati. "Hidup Priyo....hidup Priyo.....hidup Priyo...!" Gegap gempita massa hutan menyambut orasi Priyo. Namun, tiba-tiba setelah itu : "Kini, akulah yang menjadi raja kalian! Priyo si Raja Hutan yang reformis!" Kali ini tidak ada yang menyahut. Karena tidak jauh dari situ ada istana raja harimau. Takut raja harimau mengamuk. Pasti anak buah raja hutan itu ada di mana-mana. Hingga akhirnya rakyat rimba pada bubar pelan-pelan. Ulah Priyo tidak hanya sebatas itu saja. Dengan seenaknya dia menunggang gajah yang paling besar. Di atas punggung gajah, Priyo berorasi soal reformasi hutan. "Jika hutan ini kedatangan manusia yang merusak hutan, kita sikat dia!" Kini issu pelestarian hutan diangkat Raja Priyo. "Hutan ini tidak boleh rusak oleh manusia yang tidak bertanggung jawab!" Setiap kedatangan Priyo di sebuah tempat di hutan itu, selalu banyak yang datang untuk menontonnya. Hal itu berlangsung hingga beberapa hari. Di dalam istana raja hutan diadakan patas alias rapat terbatas. Pesertanya otomatis terbatas, hanya binatang-binatang penting yang hadir. Mereka membahas kondisi pemerintahan hutan lindung yang dianggapnya genting. Setelah rapat itu berjalan alot, akhirnya diputuskan sebuah kiat jitu untuk menghadapi 'Priyo Si Raja Hutan'. Di pagi yang cerah itu, Si Mony 'sowan' ke hadapan Priyo Si Raja Hutan. Si Mony mengemban misi khusus dari raja hutan. Tampak Priyo duduk di bawah pohon rindang. Dia asyik makan buah-buahan hasil kiriman binatang-binatang sekitarnya. Cara makannya ngawur. Jika monyet makan buah dihabiskan, Priyo justru tidak. Buah-buah itu dimakannya separo-separo, lalu dibuang jauh-jauh. Monyet-monyet lain pada sibuk berebutan dan memakannya. Mubazir, batin mereka. Baju Priyo pun sudah tidak utuh lagi. Hanya pakai celana panjang yang sudah sobek di bawahnya. Entah apa yang barusan dilakukannya, secepat itu ia jadi seperti Tarzan. Melihat kedatangan si Mony, Priyo memperhatikannya dengan curiga. "Baginda Raja, kami mau matur!" Kata Mony pada Priyo. "Oh, ya? Silahkan, katakan saja!" Barulah si Priyo serius menerima Mony. "Tuan Raja dipersilahkan masuk istana hutan, khusus untuk tuan Priyo!" Priyo melongo. Istana? Spontan wajahnya cerah. "Baik, ayo kawal aku kesana!" Segera Priyo diantar si Mony menuju istana hutan yang tidak jauh dari tempat duduk Priyo. Priyo tampak terkesima dengan luasnya gua yang katanya istana itu. Baunya tak sedap untuk sebuah istana. Priyo tak peduli dengan semuanya. Sesaat kemudian keluarlah harimau dari dalam gua yang lebih dalam. Priyo sempat terkejut, namun segera kembali cengengesan menyambut harimau. "Inilah panglimaku! Mari kita amankan hutan ini dari koruptor!" Kata Priyo bersemangat. Harimau hanya melongo. Maklum, di hutan tidak ada koruptor, yang ada predator. "Silahkan tuan Priyo, duduk di singgasana!" Kata harimau kemudian. Priyo segera naik di atas batu besar dan duduk. Di sebelah kanannya duduk panglima yang tidak lain adalah harimau, dan sebelah kirinya si Mony sebagai penasehat kerajaan. Setelah makan-makan buah yang dihidangkan, maka berkatalah si Mony : "Tuan, sebagai seorang raja, seyogyanya tuan memiliki seorang permaisuri!" Usul si Mony. "Permaisuri?" Priyo mengeryitkan dahi. "Jika Tuan berkenan, kami sudah ada calon permaisuri yang paling cantik di hutan ini!" "Oh ya? Di sini ada permaisuri cantik? Bawa dia kesini!" Perintah raja Priyo mantap. Tak lama kemudian, dihadirkanlah seorang permaisuri yang dimaksud. Tampak dari kejauhan berarakan rombongan permaisuri yang diapit oleh sekawanan orang hutan. Dibelakangya puluhan jenis hewan mengaraknya. Tampak benar-benar seperti pengantin. Setelah dekat, Priyo kaget setengah hidup. Rupanya yang dimaksud permaisuri adalah orang hutan betina yang katanya paling cantik se rimba itu. Matanya diucek setengah tidak percaya. Namun sesaat kemudian dia tampak gembira dan tertawa-tawa. "Haa...ha..ha...! Bagus! Bagus! Aku telah memiliki permaisuri yang cantik sekarang!" Kata Priyo lagaknya seorang raja. Si Mony dan Romo mengelus dada. Mereka saling berbisik sendiri. "Kok mau ya? Makin gawat nih!" Kata harimau. "Tentu saja gawat Romo! Jika mereka jadi kawin, seperti apa kira-kira anaknya nanti!" Sahut Mony. "Pasti anaknya nanti seperti manusia purbakala yang bernama Centhropus erektus atau apalah namanya!" "Ah, Romo ada-ada saja!" Sang putri yang menjadi calon permaisuri Raja Priyo yang tak lain orang hutan betina itu, benar-benar duduk disamping raja Priyo. Priyo tersenyum-senyum melihat pengantinnya. Namun sesekali dia tampak terkejut dan cemberut. Di ucek matanya sekali lagi. Tak salah. Lalu sesaat kemudian dia tampak bingung sendiri. "Maaf panglimaku! Aku hendak pipis dulu!" Kata Raja Priyo beranjak keluar dari istana gua. Semua binatang yang dilaluinya pada memandangnya penuh tanda tanya. Setelah jauh dari istana, Priyo benar-benar kencing. Setelah itu batinnya berperang sendiri. "Aku tidak mungkin punya istri orang hutan betina! Tapi....aku kan raja hutan? Jadi pantas jika punya istri orang hutan! Ah mana mungkin!" Tiba-tiba Priyo ingat sesuatu : "Kenapa aku sampai disini ya?" Priyo segera beranjak dari hutan itu. Dia sepertinya tahu jalan pulang. Ia lari di antara semak-semak menuju ke utara. Diam-diam pasukan monyet telah mengikutinya dari kejauhan, memastikan Priyo pergi kemana. Setelah Priyo menuju hutan yang bukan hutan lindung, Priyo makin mantap kemana dia harus pulang. Menjelang sore Priyo sudah sampai keluar hutan. Ia tengah berjalan di tanggul-tanggul tegalan dipinggir hutan. Pasukan monyet yang telah mengetahui kepastian kemana Priyo pergi, segera kembali ke tengah hutan lindung melaporkan perihal sang raja Priyo. "Hore...hore, kita menang!" teriak si Mony disambut binatang-binatang lain. "Kini kita terbebas dari raja manusia. Kita telah memiliki raja hutan yang sesungguhnya!" Kata si Mony sambil menggandeng Romo si Raja Harimau yang tampak gembira ria. Usaha mereka untuk mengusir raja hutan gadungan telah berhasil tanpa melalui kekerasan. Sementara itu Priyo telah mendekati desa kelahirannya. Biarpun dia compang-camping karena tujuh hari lamanya kelayapan di hutan lindung, banyak warga yang tetap mengenalnya. "Priyo telah kembali!" Seru seorang warga histeris. Bagaimanapun juga hilangnya Priyo membuat mereka sedih. Kini Priyo telah kembali walaupun kondisinya sudah tidak utuh lagi..... pakaiannya. Banyak warga yang menyambutnya. "Priyo, kamu sudah sembuh to!" Kata seorang warga menyambut Priyo. Priyo hanya diam. Dia tampak berpikir keras, apa yang barusan terjadi? Bukankah dia tadi keluar dari hutan yang jauh? Untunglah para tetangga segera membimbingnya pulang ke rumah. Orang tuanya menyambut kepulangan Priyo dengan sukacita. Anak hilang yang baru pulang itu segera dimandikan dan diganti bajunya. Setelah bersih, Priyo merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasa benar-benar telah mengenal dirinya sendiri. (Kang Diqin)

AIR YANG TERSESAT JALAN

Aku adalah sosok yang biasa saja. Walaupun biasa tapi sangat luar biasa. Ajaib bahkan. Aku tidak sekedar bisa disentuh oleh tangan manusia, atau dituang di wadah, bahkan aku bisa terbang menguap ke udara lewat panas. Begitulah salah satu keunggulanku sebagai makhluk yang bernama air. Setelah aku berada di langit yang tinggi bersama kawan-kawanku sesama air, aku bersemayam di mendung dan kemudian terjun bebas ke bumi lagi. Menyelinap di antara pepohonan. Di akar-akar pohon bawah tanah. Aku nyaman di antara pohon-pohon, istirahat di sana beberapa waktu lamanya. Tanaman pun tumbuh subur. Manusia hidup makmur. Keberadaanku sungguh luar biasa. Berjasa terhadap makhluk hidup di bumi. Suatu hari aku punya keinginan yang berbeda. Tidak hanya berhenti di akar-akar pohon yang teduh. Tidak hanya merembes ke bumi yang lebih dalam, lalu mengalir ke sumur-sumur. Aku ingin terjun ke sungai-sungai hingga ke laut. “Bagaimana rasanya berkumpul dengan kawan-kawan air yang rasanya asin?” Kataku kepada air lain. “Wah, itu pengalaman menarik!” Jawab sekawanan air yang lebih pengalaman. Keinginanku itu menjadi kenyataan. Tidak berapa lama aku diterjunkan dari langit berupa hujan deras yang mengguyur hutan dan pegunungan. Biasanya aku menghambur ceria di dedaunan dan ranting pohon. Aku terjun bebas tanpa hambatan. Kali ini aku terjerembab di daun dan ranting. Tapi ranting dan daun itu sudah pada berserakan di tanah. Ranting dan daun itu terhanyut. Aku kaget, kenapa mereka ikut saja gerakan kami yang selalu mencari dataran rendah. Bahkan kayu besar pun hanyut juga. Oh, rupanya aku terjun di hutan yang gundul. Aku tidak mengerti mengapa bisa demikian. Padahal yang kuharapkan adalah terjun ke sungai-sungai dan mengalir hingga jauh. Ke laut tentunya. “Ohoi…. Aku bisa terjun bebas. Pasti cepat sampai di laut nih!” Aku mengira ini sebuah permainan. Namun aku terkejut setengah mati ketika melewati sebuah kampung. “Hoi…. Minggir, minggir!” Teriakku pada warga kampung. Aku melihat kepanikan orang-orang di kampung kampung yang aku lalui. Aku tidak hanya mengalir di sungai kecil, selokan atau dataran rendah lainnya. Bahkan aku sudah meluap ke perkampungan segala karena saking banyaknya air. Akhirnya aku menyeret sebuah dinding rumah yang terbuat dari kayu. Teman airku yang lain bahkan menyeret isinya, ada mebel, almari, bahkan ternak. “Awas Pak, Awas Bu, Awas Dik……” Aku menerjang manusia, tapi syukurlah mereka tidak terbawa meski ditendang air-air lain yang menyusul di belakangku. Mereka pada saling berpegangan dan akhirnya naik di dataran yang lebih tinggi. Syukurlah. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika kawan-kawanku yang diterjunkan dari gunung cukup banyak dan bergelombang. Pastilah banyak manusia yang terseret. Aku melewati sekumpulan anak-anak yang bermain air. Aku menyapa seorang anak yang berkecipuk di depan rumahnya yang hanya sedikit kena air. “Kenapa kamu malah senang bermain air, padahal rumahmu tergenang. Orang-orang tua pada panik!” “Asyik. Aku bisa bermain-main air. Airnya banyak sekali!” Jawabnya ala anak-anak. “Dasar anak. Tapi orang tuamu merugi, karena barang-barangnya kena air. Bahkan ada yang terseret air besar.” “Oh begitu. Kenapa dengan hutan-hutan di sana? Kenapa kalian tidak di sana saja, dan turun pelan-pelan di bawah tanah?” “Maafkan kami wahai manusia. Kami biasanya nyaman di sela-sela akar pohon di hutan. Namun kali ini pohon tempat kami bersemayam tidak kami temukan. Hutan pada gundul sehingga kami tergelincir ke kampung kalian!” “Tergelincir?” Tanya anak-anak yang lain. “Ya. Aku tidak bisa berpegangan dengan apapun di hutan gundul. Pasti ada orang lain yang merusaknya. Menggundulkannya. Kamu sebagai generasi muda tidak lagi diwarisi pohon, tapi diwarisi bencana oleh mereka.” “Berarti mereka bedosa ya?” “Ya pasti. Hanya Tuhan yang akan membalasnya. Mestinya mereka terkena hukuman di dunia oleh penguasa. Yang namanya manusia banyak dosa. Terkadang banyak alasan dan kepentingan pribadi sehingga tidak menghukum mereka.” “Selamat bermain air. Hati-hati ya. Kawan-kawanku air masih banyak di belakang sana!” Agar anak-anak itu minggir lebih jauh, sengaja aku menendang mereka dengan gelombang. “Aih… air yang nakal!” Teriak mereka. Aku tidak peduli. Yang penting mereka mau pergi jauh, karena nun jauh di gunung sana masih banyak kawan-kawan air yang lebih besar. Aku takut anak-anak ini terseret air dan tidak bisa menyelematkan diri. Aku tertawa riang, karena kulihat anak-anak pada minggir ke dataran tinggi. Orang-orang tua pada menggendong mereka dan dibawa ke tempat yang aman. Penulis : Ali Shodiqin Perum Puri Mondoteko Jl. Puri III - 42 Rembang Jawa Tengah

ADA TERORIS !!!

Senja itu, Payjo baru saja pulang dari extrakurikuler Pramuka. Habis ganti baju dan menaruh topi pramuka di kamarnya, dia mengawasi pemandangan di luar rumah lewat jendela kaca. Alangkah terkejutnya Payjo, seorang laki-laki dengan gelagat yang mencurigakan keluar dari rumah kos-kosan Bu Tonah, tetangganya. Bagaimana tidak curiga, wajahnya sangar, matanya mengamati kesana kemari, membawa tas ransel yang cukup besar dan bawa sebuah tongkat panjang. Lelaki misterius! Batin Payjo. Maklum, Payjo yang suka nonton berita di TV dan koran itu, pikirannya langsung tertuju pada peristiwa-peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia. Antara lain yang mengemuka adalah soal pelaku yang hidup di kos-kosan atau rumah kontrakan, membawa ransel atau tas berat, tampak canggung, dll. Menurut hati kecilnya Payjo, yang namanya teroris pasti wajahnya juga sangar dan tidak bersahabat. Malam itu, sekitar jam sembilan, Payjo menunggu dua temannya, Ngusman dan Topa. Mereka sepakat untuk menyelidiki keberadaan seorang teroris di RT nya. Usai magrib tadi, Payjo langsung mendatangi dua sahabatnya yang sama-sama kelas lima SD tersebut. Dan rupanya dua karibnya itu sama-sama peduli untuk mengamankan wilayahnya dari gangguan teroris. "Hai Jo!" Teriak Ngusman dari kejauhan. Ngusman tampak terburu-buru diikuti Topa dibelakangnya. "Kok bersemangat sekali!" kata Payjo setelah mereka mendekat. "Ssst! Kita harus bersemangat! Kita harus sungguh-sungguh menumpas teroris!" Sahut Ngusman berapi-api. "Betul!" Topa menimpali. "Trus, darimana kita mulai?" Tanya Payjo. "Tentu saja dari kos-kosan Bu Tonah!" Jawab Ngusman. "Bagus! Kita bisa pura-pura mencari seseorang!" Ujar Topa. Dengan rasa was-was, mereka bertiga mendekati rumah Bu Tonah. Entah apa yang ada di benak mereka. Takut bom meledak kali? Kedatangan mereka bertiga bikin Bu Tonah heran. "Tumben, kalian mau cari kos-kosan, ya?" Tanya Bu Tonah setengah meledek. "Hanya mampir, Bu!" Kata Payjo garuk-garuk kepala. Linglung, darimana harus memulai. "Begini Bu!" Akhirnya Ngusman yang maju. "Kami ingin tahu, siapa sih orang bawa ransel yang kos di sini? Soalnya saya pernah disapanya, dan.... apa ya?..... saya penasaran, gitu lho!" "Oo, dia toh. Orang dari mana ya?" Bu Tonah balik bertanya. "Dia meninggalkan KTP buat Bu Tonah?" Tanya Topa kemudian. "Oh iya! Aku ambilkan!" Bu Tonah beranjak ke kamarnya tanpa curiga sedikitpun. Sejurus kemudian dia keluar sambil membawa sehelai KTP foto kopian. Tiga anak itu mengamati KTP dengan seksama. "Betul! Ini dia orangnya!" Seru Payjo penuh semangat empat lima, bikin Bu Tonah kaget saja. "Kok serius amir? Ada apa sih?" Bu Tonah terheran-heran. "Maaf Bu Tonah. Di sini sarang teroris!" Jawab Ngusman dengan mimik tegang. Bu Tonah yang sejak tadi jongkok karena ikut menyaksikan KTP sontak terduduk karena kaget. Tiga anak itu saling pandang melihat Bu Tonah 'semlengeran'. Segera Payjo mengambilkan air minum dari dapurnya Bu Tonah sendiri. Setelah lega, barulah mereka memberi pengertian. "Begini Bu Tonah. Kami baru menduga saja jika orang itu teroris. Soalnya dia membawa ransel dan tongkat segala!" Kata Payjo. "Ransel?" Bu Tonah tampak keheranan. "Coba lihat itu ranselnya!" Bu Tonah menunjuk sebuah keranjang mirip ransel yang digantungkan di pojok ruangan. "Dia memang baru beberapa hari disini. Tapi saya mengizinkan salah satu ranselnya ditaruh saja di pojok ruangan rumah ini!" Kata Bu Tonah lagi. Payjo diikuti oleh Ngusman dan Topa mendekati ransel dengan was-was. Tampak ransel itu bergoyang pelan. "Kok seperti ada sesuatu di dalamnya, Bu Tonah?" Tanya Payjo deg-degan. Payjo membayangkan yang bergerak-gerak itu adalah semacam pemantik bom atau semacamnya. "Sebenarnya itu keranjang yang dibungkus kain berisi kecoak, Jo! Pemiliknya itu setiap malam mencari binatang kecoak!" Bu Tonah menjelaskan. “Pencari kecoak?” Payjo, Ngusman dan Topa saling pandang. Tampak muka Payjo merah delima karena malu. Ternyata, dugaan yang asal-asalan bisa bikin malu sendiri. "Permisi, Bu!" Kata Payjo tanpa melihat tampang Bu Tonah yang makin lama makin bingung itu. "Bagaimana dengan terorisnya?" Tanya Bu Tonah sambil mengikuti mereka keluar. Mereka bertiga sudah melangkah jauh dari Rumah Bu Tonah. Hanya Topa yang berbalik ke arah Bu Tonah. Sesaat setelah diberi penjelasan oleh Topa, terdengarlah tawa keras Bu Tonah memecah kesunyian malam. (Kang Diqin)

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...