Selasa, 07 Agustus 2012

AIR YANG TERSESAT JALAN

Aku adalah sosok yang biasa saja. Walaupun biasa tapi sangat luar biasa. Ajaib bahkan. Aku tidak sekedar bisa disentuh oleh tangan manusia, atau dituang di wadah, bahkan aku bisa terbang menguap ke udara lewat panas. Begitulah salah satu keunggulanku sebagai makhluk yang bernama air. Setelah aku berada di langit yang tinggi bersama kawan-kawanku sesama air, aku bersemayam di mendung dan kemudian terjun bebas ke bumi lagi. Menyelinap di antara pepohonan. Di akar-akar pohon bawah tanah. Aku nyaman di antara pohon-pohon, istirahat di sana beberapa waktu lamanya. Tanaman pun tumbuh subur. Manusia hidup makmur. Keberadaanku sungguh luar biasa. Berjasa terhadap makhluk hidup di bumi. Suatu hari aku punya keinginan yang berbeda. Tidak hanya berhenti di akar-akar pohon yang teduh. Tidak hanya merembes ke bumi yang lebih dalam, lalu mengalir ke sumur-sumur. Aku ingin terjun ke sungai-sungai hingga ke laut. “Bagaimana rasanya berkumpul dengan kawan-kawan air yang rasanya asin?” Kataku kepada air lain. “Wah, itu pengalaman menarik!” Jawab sekawanan air yang lebih pengalaman. Keinginanku itu menjadi kenyataan. Tidak berapa lama aku diterjunkan dari langit berupa hujan deras yang mengguyur hutan dan pegunungan. Biasanya aku menghambur ceria di dedaunan dan ranting pohon. Aku terjun bebas tanpa hambatan. Kali ini aku terjerembab di daun dan ranting. Tapi ranting dan daun itu sudah pada berserakan di tanah. Ranting dan daun itu terhanyut. Aku kaget, kenapa mereka ikut saja gerakan kami yang selalu mencari dataran rendah. Bahkan kayu besar pun hanyut juga. Oh, rupanya aku terjun di hutan yang gundul. Aku tidak mengerti mengapa bisa demikian. Padahal yang kuharapkan adalah terjun ke sungai-sungai dan mengalir hingga jauh. Ke laut tentunya. “Ohoi…. Aku bisa terjun bebas. Pasti cepat sampai di laut nih!” Aku mengira ini sebuah permainan. Namun aku terkejut setengah mati ketika melewati sebuah kampung. “Hoi…. Minggir, minggir!” Teriakku pada warga kampung. Aku melihat kepanikan orang-orang di kampung kampung yang aku lalui. Aku tidak hanya mengalir di sungai kecil, selokan atau dataran rendah lainnya. Bahkan aku sudah meluap ke perkampungan segala karena saking banyaknya air. Akhirnya aku menyeret sebuah dinding rumah yang terbuat dari kayu. Teman airku yang lain bahkan menyeret isinya, ada mebel, almari, bahkan ternak. “Awas Pak, Awas Bu, Awas Dik……” Aku menerjang manusia, tapi syukurlah mereka tidak terbawa meski ditendang air-air lain yang menyusul di belakangku. Mereka pada saling berpegangan dan akhirnya naik di dataran yang lebih tinggi. Syukurlah. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika kawan-kawanku yang diterjunkan dari gunung cukup banyak dan bergelombang. Pastilah banyak manusia yang terseret. Aku melewati sekumpulan anak-anak yang bermain air. Aku menyapa seorang anak yang berkecipuk di depan rumahnya yang hanya sedikit kena air. “Kenapa kamu malah senang bermain air, padahal rumahmu tergenang. Orang-orang tua pada panik!” “Asyik. Aku bisa bermain-main air. Airnya banyak sekali!” Jawabnya ala anak-anak. “Dasar anak. Tapi orang tuamu merugi, karena barang-barangnya kena air. Bahkan ada yang terseret air besar.” “Oh begitu. Kenapa dengan hutan-hutan di sana? Kenapa kalian tidak di sana saja, dan turun pelan-pelan di bawah tanah?” “Maafkan kami wahai manusia. Kami biasanya nyaman di sela-sela akar pohon di hutan. Namun kali ini pohon tempat kami bersemayam tidak kami temukan. Hutan pada gundul sehingga kami tergelincir ke kampung kalian!” “Tergelincir?” Tanya anak-anak yang lain. “Ya. Aku tidak bisa berpegangan dengan apapun di hutan gundul. Pasti ada orang lain yang merusaknya. Menggundulkannya. Kamu sebagai generasi muda tidak lagi diwarisi pohon, tapi diwarisi bencana oleh mereka.” “Berarti mereka bedosa ya?” “Ya pasti. Hanya Tuhan yang akan membalasnya. Mestinya mereka terkena hukuman di dunia oleh penguasa. Yang namanya manusia banyak dosa. Terkadang banyak alasan dan kepentingan pribadi sehingga tidak menghukum mereka.” “Selamat bermain air. Hati-hati ya. Kawan-kawanku air masih banyak di belakang sana!” Agar anak-anak itu minggir lebih jauh, sengaja aku menendang mereka dengan gelombang. “Aih… air yang nakal!” Teriak mereka. Aku tidak peduli. Yang penting mereka mau pergi jauh, karena nun jauh di gunung sana masih banyak kawan-kawan air yang lebih besar. Aku takut anak-anak ini terseret air dan tidak bisa menyelematkan diri. Aku tertawa riang, karena kulihat anak-anak pada minggir ke dataran tinggi. Orang-orang tua pada menggendong mereka dan dibawa ke tempat yang aman. Penulis : Ali Shodiqin Perum Puri Mondoteko Jl. Puri III - 42 Rembang Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...