Jumat, 04 Juni 2010

Dua Bocah Saat Makan Sore

Di tengah kampung yang padat, Sutini merawat dua anaknya, laki dan perempuan. Sang suami kerja di perantauan, pulang dua bulan sekali.

Hari-hari Sutini bekerja pada bos rosok. Siang istirahat dan mempersiapkan makan anaknya. Sebagai keluarga yang hidup pas-pasan, anak-anaknya senang jika ada orang punya hajat, apalagi orang kaya.

”Kalau ayah di rumah, pasti diundang hajatan ya Bu,” kata Didi anak yang kecil pada ibunya.

”Biasanya kan dikirimi kalau ayah tidak di rumah,” Siti sang kakak menyahut.

Sutini diam saja. Ia tetap menanak nasi untuk makan sore. Hal demikian membuat penasaran dua anaknya.

”Ibu, kenapa tetap memasak? Bukankah nanti kita dikirimi hajatan tetangga?” Tanya Siti agak khawatir.

Sutini tersenyum. ”Mungkin ya. Tapi mungkin juga tidak anakku! Siapa tahu tiba-tiba mereka lupa pada kita!”

”Kenapa begitu?” Didi bertanya.

”Kita tidak boleh berharap kepada siapapun kecuali pada Tuhan. Berharap kepada manusia itu namanya tamak. Itu sikap buruk, anakku.”

”Kenapa Bu?” Siti masih belum mengerti, apalagi Didi.

”Orang kaya itu berat, anakku. Betapa bingungnya mereka untuk menjaga hartanya agar tidak berkurang, atau sekedar mengembalikan hak orang miskin. Apalagi berbagi. Mereka perlu dikasihani karena di akherat perhitungan untuk mereka amat berat.”

Siti dan Didi berpandangan. Antara faham dan bingung.

Sore itu, senandung selawat dari lisan sang ibu mengiringi dua bocah yang tengah makan lahap dari hasil jerih payah sang ibu. (Ali Shodiqin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...