Minggu, 25 Juli 2010

Negeriku Tercabik-cabik

Di rumah kudengar sebuah berita di televisi yang tengah memberitakan kasus Century. Tidak lama kemudian disusul berita tentang perpajakan dengan lakon pria tambun. Kalau tidak salah nama lengkapnya Gayus Tambunan. Belakangan yang berhubungan dengan istilah “tambun” jadi populer.

Di depan televisi itu istriku tampak bertafakur, mencermati berita demi berita dengan tidak berhenti mengumpat dibarengi istighfar.

Saya paling benci mendengar berita tentang uang rakyat yang dipakai ‘bancakan’ orang yang memiliki kesempatan menjarah uang rakyat. Jujur saja, terkadang saya berfikir, bagaimana jika yang punya kesempatan itu saya sendiri?

Daripada kegerahan di dalam rumah, saya pergi ke belakang, duduk di bawah jendela. Di sana saya menemukan sobekan koran. Tidak sengaja beritanya masih seputar korupsi.

Rasanya ingin mengumpat. Kepada siapa? Jangan-jangan saya sendiri juga terlibat menyumbang keruwetan negeri ini. Bukankah yang nangkring di Senayan sana sebagian adalah pilihan saya?

”Ini Pak koruptornya!” Tiba-tiba terdengar suara lantang mengarah kepada saya. Saya tersentak. Suara itu pendek dan hilang begitu saja, tidak tahu dari mana. O, agaknya aku tadi melamun.

Masih dari sebuah sobekan koran, ada berita satu lagi yang bikin dada berdegup kencang. Tentang pornografi artis-artis terkenal. Sejenak saya melupakan korupsi yang menggurita itu.

”Dhar!!!!” Terdengar sebuah ledakan.

”Tabung gas meledak! Ayo padamkan!” Para tetangga pada semburat, mencari asal suara.

Saya pun turut lari, mencari-cari di mana gerangan tabung gas meledak. Sementara aku campakkan sobekan koran dengan seabrek berita yang mengoyak negeri, bebas terbang terbawa angin. (Ali Shodiqin)

Sabtu, 24 Juli 2010

Lima Peluit

Pagi itu Harno benar-benar perlu uang. Tidak banyak, hanya lima ribu rupiah. Tapi yang namanya lagi tidak ada, tetap saja tidak mudah mencarinya. Mau pinjam saudara, tidak biasa. Mau pinjam teman, harus pilih-pilih.

Sejurus kemudian ia teringat Karjo, temannya yang kerjanya di jalanan. Ia segera ke sana.

”Jo, aku butuh uang lima ribu, nih. Bisa membantuku?” Harno mengutarakan maksudnya begitu ketemu Karjo.

Karjo tidak segera menjawab. ”Tunggu dulu, beberapa tiupan peluitku akan menjawab hajatmu!”

Harno menunggu di trotoar, melihat ulah Karjo.

”Priiit.....!” Suara peluit dari Karjo. Seperti pesulap, tangan Karjo bisa menghalau mobil, maju maupun mundur.

”Priit....!” Sekali lagi mobil pindah tempat, dan berlalu.

“Priit…!” Untuk ketiga kalinya mobil mewah dihalaunya.

Sesaat kemudian.

”Ini uang yang kau inginkan!” kata Karjo sambil menyerahkan beberapa lembar uang yang berjumlah lima ribu. ”Ini hasil lima peluitku. Terimalah!”

Harno tersenyum gembira.

“Terima kasih, Jo. Makasih!”

Harno kembali pulang, hendak membeli sekilo beras. Sementara Karjo kembali sibuk dengan peluitnya, mengatur mobil di arena parkir. (Ali Shodiqin)

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...