Selasa, 29 Juni 2010

Tukang Kebun Jadi Selebritis

Bertahun-tahun Said melakukan itu sendirian. Walaupun tanpa ada yang membayar sepeserpun. Sebuah pekerjaan kasar, tukang kebun, memangkas pohon kehidupan dan akhlak serta rajin menyiraminya. Agar kelak menjadi pohon peneduh masyarakat dunia akherat.

Sebulan yang lalu, ia masih sendirian melakukan semua itu. Keadaan berubah total sejak ada pengumuman dari penguasa, bahwa tukang pangkas mendapat tunjangan dan penghargaan.

Tukang kebun pun menjadi buah bibir, bak selebritis. Tidak lama kemudian, berpuluh-puluh orang, bahkan ratusan orang berduyun-duyun turut membantu Said. Tidak itu saja, sebagian dari pekerjaan Said diambil!

Orang yang tidak ahli memelihara tunas masyarakat menjadikan tanaman negeri tidak karuan, bahkan ada yang rusak. Air untuk menyiram pun beragam. Ada yang memakai air bersih, ada yang bercampur comberan, ada pula yang bercampur bahan kimia.

Penguasa bangga-bangga saja berbagi tunjangan untuk mereka walaupun jumlahnya membengkak. Tapi sayang, pemangkas dan penyiram tanaman karbitan bisa merusak tanaman. (Ali Shodiqin)

Rumah Permak

Orang begitu saja memberi nama rumah permak. Sebuah rumah tempat berkumpul anak muda. Siapa saja setelah singgah sebentar di rumah itu, bisa berubah total. Berubah segalanya, seperti dipermak.

Seorang preman menjadi manis tampilannya, makin modis tapi makin sadis. Ia bak Firaun atau Qorun. Seorang penjilat makin lihai otaknya dan makin rakus. Seorang ustadz menjadi seorang pendalil yang merekayasa halalnya suap menyuap dan korupsi. Sudah pasti ia menjadi kaya raya. Seorang pesuruh makin taat pada koruptor dan makin gemuk saja. Seorang yang bermuka dua makin banyak muka. Sudah pasti makin memuakkan.

Ciri-ciri orang yang sudah pernah singgah di sana adalah suka ’bolo-bolonan’ seperti anak kecil. Siapa yang tidak sepaham akan disingkirkan dari pertemanan.

Dilan adalah contoh nyata orang jujur yang tidak mudah terpengaruh rumah permak. Karena keteguhannya pada kebenaran ia tersingkir dari temannya. Tapi rupanya ia telah matang dalam memilih. Ia memilih menyingkir dari rumah permak itu.

Seseorang yang semula menganggap dirinya kotor bertanya tentang alasan Dilan menyingkir.

“Mas Dilan, kenapa kau menyingkir?” Tanya temannya.

”Tentu saja kawan. Aku khawatir kelak ditanya Tuhan, siapakah teman-temanmu di dunia?” Jawab Dilan.

”Begitu fatalkah soal berteman ini?”

”Ya. Jika kawan-kawanku buruk akhlaknya, tentu aku akan menjadi bagian dari mereka. Seperti polisi yang menangkap penonton sabung ayam, walaupun bukan pelakunya, ia akan dijebloskan penjara juga.” (Ali Shodiqin)

Kamis, 10 Juni 2010

Bingungnya Orang Tolol

Entah bagaimana awalnya, Bos Dewi sudah tidak tertarik dipanggil “bos”. Menurutnya panggilan untuk orang kaya itu sudah usang. Membosankan.

Seperti pagi itu di perusahaan pemasok ayam potong.

”Assalamu’alaikum, Bos Dewi!” Terdengar suara seorang karyawan menyapa tuannya.

Wanita yang sudah ubanan rambutnya, yang dipanggil bos itu hanya menjawab lirih. Tidak menengok. Ia sibuk mondar mandir mengawasi ribuan ayam piaran yang tengah diberi makan para karyawan.

Sore itu, ketika dirinya sedang istirahat ada tetangganya yang datang. Orangnya jago ngerumpi, pula jago memuji.

”Aduh Bu Nyai, istirahat ya,” sapa tetangganya bikin dirinya kaget. Kaget karena dipanggil Bu Nyai.

”Kamu Denok! Aku jangan dipanggil Bu Nyai, ah!” Kata Bos Dewi pura-pura malu. Tapi si Denok tahu kalau Bos Dewi senang dengan panggilan itu. Sebuah panggilan yang galibnya untuk perempuan yang ilmu agamanya mumpuni.

Akhirnya mereka ngrumpi habis. Pulangnya Denok diberi sekeranjang makanan enak.

Denok makin senang memanggil Bos Dewi dengan panggilan ”Bu Nyai”. Bos Dewi makin bangga saja. Serasa melambung walaupun sebenarnya pengetahuan agamanya pas-pasan.

Dan si Denok, makin makmur karena selalu dapat sokongan dari Bos Dewi..... eh Bu Nyai. (Ali Shodiqin).

Jumat, 04 Juni 2010

Dua Bocah Saat Makan Sore

Di tengah kampung yang padat, Sutini merawat dua anaknya, laki dan perempuan. Sang suami kerja di perantauan, pulang dua bulan sekali.

Hari-hari Sutini bekerja pada bos rosok. Siang istirahat dan mempersiapkan makan anaknya. Sebagai keluarga yang hidup pas-pasan, anak-anaknya senang jika ada orang punya hajat, apalagi orang kaya.

”Kalau ayah di rumah, pasti diundang hajatan ya Bu,” kata Didi anak yang kecil pada ibunya.

”Biasanya kan dikirimi kalau ayah tidak di rumah,” Siti sang kakak menyahut.

Sutini diam saja. Ia tetap menanak nasi untuk makan sore. Hal demikian membuat penasaran dua anaknya.

”Ibu, kenapa tetap memasak? Bukankah nanti kita dikirimi hajatan tetangga?” Tanya Siti agak khawatir.

Sutini tersenyum. ”Mungkin ya. Tapi mungkin juga tidak anakku! Siapa tahu tiba-tiba mereka lupa pada kita!”

”Kenapa begitu?” Didi bertanya.

”Kita tidak boleh berharap kepada siapapun kecuali pada Tuhan. Berharap kepada manusia itu namanya tamak. Itu sikap buruk, anakku.”

”Kenapa Bu?” Siti masih belum mengerti, apalagi Didi.

”Orang kaya itu berat, anakku. Betapa bingungnya mereka untuk menjaga hartanya agar tidak berkurang, atau sekedar mengembalikan hak orang miskin. Apalagi berbagi. Mereka perlu dikasihani karena di akherat perhitungan untuk mereka amat berat.”

Siti dan Didi berpandangan. Antara faham dan bingung.

Sore itu, senandung selawat dari lisan sang ibu mengiringi dua bocah yang tengah makan lahap dari hasil jerih payah sang ibu. (Ali Shodiqin)

Tukang Ukir dan Sepotong Tempe

Menganggur setelah menikah tentu bukan pilihan yang bagus. Termasuk Fandi yang istrinya telah hamil. Merasa memiliki tanggungan dan malu kepada mertua, Fandi memilih merantau. Pilihannya Yogyakarta, yang kata temannya banyak pengrajin grabah. Fandi minat ke sana karena ia senang bekerja di sentra kerajinan, padat karya. Setidaknya bisa bekerja jadi tukang jemur atau kuli angkut.

Dugaan Fandi meleset. Setelah dapat kos kosan, Fandi melamar pekerjaan di home industri grabah yang besar-besar. Satu dua tdak ada yang bisa menerima, hingga puluhan perusahaan grabah menolak semua. Rata-rata mereka mencari tukang ukir. Ahli membuat motif keramik dengan menempel-nempel hiasan dengan tanah liat. Hanya orang kreatif yang bisa melakukan itu. Biasanya anak asli kampung setempat yang sudah latihan sedari kecil.

Fandi berfikir keras, bagaimana cara bisa mendapat pekerjaan. Maka ia memberanikan diri meminjam tanah lempung kepada orang kampung. Dicobanya membikin sebuah benda dengan lempung. Tampaknya tidak terlalu sulit. Dengan skill seni yang dimilikinya, Fandi merasa yakin diterima kerja.

”Saya melamar jadi tukang ukir, Bu!” Dengan penuh tekad, Fandi kembali melamar kerja.

”Ya boleh. Silahkan coba membuat hiasan keramik di situ!” Perempuan pemilik perusahaan menunjuk sekelompok tukang ukir yang sudah profesional.

Dengan penuh keyakinan, Fandi menghias sebuah guci basah seperti contoh. Tidak mudah memang, dari pagi hingga sore hanya mampu menyelesaikan satu guci. Padahal harga borongan satu guci setara dengan harga sepotong tempe goreng. Fandi yakin, jika sudah terbiasa nantinya akan bisa menyelesaikan hiasan guci lebih banyak.

Sore itu. “Besok kembali lagi, ya!” kata pemilik perusahaan mulai ada kecocokan.

”Alhamdulillah.....!” Ucap Fandi lega. Walaupun hari itu dapat sepotong tempe, Fandi telah bekerja menjadi tukang ukir. (Ali Shodiqin)

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...