Minggu, 25 Juli 2010

Negeriku Tercabik-cabik

Di rumah kudengar sebuah berita di televisi yang tengah memberitakan kasus Century. Tidak lama kemudian disusul berita tentang perpajakan dengan lakon pria tambun. Kalau tidak salah nama lengkapnya Gayus Tambunan. Belakangan yang berhubungan dengan istilah “tambun” jadi populer.

Di depan televisi itu istriku tampak bertafakur, mencermati berita demi berita dengan tidak berhenti mengumpat dibarengi istighfar.

Saya paling benci mendengar berita tentang uang rakyat yang dipakai ‘bancakan’ orang yang memiliki kesempatan menjarah uang rakyat. Jujur saja, terkadang saya berfikir, bagaimana jika yang punya kesempatan itu saya sendiri?

Daripada kegerahan di dalam rumah, saya pergi ke belakang, duduk di bawah jendela. Di sana saya menemukan sobekan koran. Tidak sengaja beritanya masih seputar korupsi.

Rasanya ingin mengumpat. Kepada siapa? Jangan-jangan saya sendiri juga terlibat menyumbang keruwetan negeri ini. Bukankah yang nangkring di Senayan sana sebagian adalah pilihan saya?

”Ini Pak koruptornya!” Tiba-tiba terdengar suara lantang mengarah kepada saya. Saya tersentak. Suara itu pendek dan hilang begitu saja, tidak tahu dari mana. O, agaknya aku tadi melamun.

Masih dari sebuah sobekan koran, ada berita satu lagi yang bikin dada berdegup kencang. Tentang pornografi artis-artis terkenal. Sejenak saya melupakan korupsi yang menggurita itu.

”Dhar!!!!” Terdengar sebuah ledakan.

”Tabung gas meledak! Ayo padamkan!” Para tetangga pada semburat, mencari asal suara.

Saya pun turut lari, mencari-cari di mana gerangan tabung gas meledak. Sementara aku campakkan sobekan koran dengan seabrek berita yang mengoyak negeri, bebas terbang terbawa angin. (Ali Shodiqin)

Sabtu, 24 Juli 2010

Lima Peluit

Pagi itu Harno benar-benar perlu uang. Tidak banyak, hanya lima ribu rupiah. Tapi yang namanya lagi tidak ada, tetap saja tidak mudah mencarinya. Mau pinjam saudara, tidak biasa. Mau pinjam teman, harus pilih-pilih.

Sejurus kemudian ia teringat Karjo, temannya yang kerjanya di jalanan. Ia segera ke sana.

”Jo, aku butuh uang lima ribu, nih. Bisa membantuku?” Harno mengutarakan maksudnya begitu ketemu Karjo.

Karjo tidak segera menjawab. ”Tunggu dulu, beberapa tiupan peluitku akan menjawab hajatmu!”

Harno menunggu di trotoar, melihat ulah Karjo.

”Priiit.....!” Suara peluit dari Karjo. Seperti pesulap, tangan Karjo bisa menghalau mobil, maju maupun mundur.

”Priit....!” Sekali lagi mobil pindah tempat, dan berlalu.

“Priit…!” Untuk ketiga kalinya mobil mewah dihalaunya.

Sesaat kemudian.

”Ini uang yang kau inginkan!” kata Karjo sambil menyerahkan beberapa lembar uang yang berjumlah lima ribu. ”Ini hasil lima peluitku. Terimalah!”

Harno tersenyum gembira.

“Terima kasih, Jo. Makasih!”

Harno kembali pulang, hendak membeli sekilo beras. Sementara Karjo kembali sibuk dengan peluitnya, mengatur mobil di arena parkir. (Ali Shodiqin)

Selasa, 29 Juni 2010

Tukang Kebun Jadi Selebritis

Bertahun-tahun Said melakukan itu sendirian. Walaupun tanpa ada yang membayar sepeserpun. Sebuah pekerjaan kasar, tukang kebun, memangkas pohon kehidupan dan akhlak serta rajin menyiraminya. Agar kelak menjadi pohon peneduh masyarakat dunia akherat.

Sebulan yang lalu, ia masih sendirian melakukan semua itu. Keadaan berubah total sejak ada pengumuman dari penguasa, bahwa tukang pangkas mendapat tunjangan dan penghargaan.

Tukang kebun pun menjadi buah bibir, bak selebritis. Tidak lama kemudian, berpuluh-puluh orang, bahkan ratusan orang berduyun-duyun turut membantu Said. Tidak itu saja, sebagian dari pekerjaan Said diambil!

Orang yang tidak ahli memelihara tunas masyarakat menjadikan tanaman negeri tidak karuan, bahkan ada yang rusak. Air untuk menyiram pun beragam. Ada yang memakai air bersih, ada yang bercampur comberan, ada pula yang bercampur bahan kimia.

Penguasa bangga-bangga saja berbagi tunjangan untuk mereka walaupun jumlahnya membengkak. Tapi sayang, pemangkas dan penyiram tanaman karbitan bisa merusak tanaman. (Ali Shodiqin)

Rumah Permak

Orang begitu saja memberi nama rumah permak. Sebuah rumah tempat berkumpul anak muda. Siapa saja setelah singgah sebentar di rumah itu, bisa berubah total. Berubah segalanya, seperti dipermak.

Seorang preman menjadi manis tampilannya, makin modis tapi makin sadis. Ia bak Firaun atau Qorun. Seorang penjilat makin lihai otaknya dan makin rakus. Seorang ustadz menjadi seorang pendalil yang merekayasa halalnya suap menyuap dan korupsi. Sudah pasti ia menjadi kaya raya. Seorang pesuruh makin taat pada koruptor dan makin gemuk saja. Seorang yang bermuka dua makin banyak muka. Sudah pasti makin memuakkan.

Ciri-ciri orang yang sudah pernah singgah di sana adalah suka ’bolo-bolonan’ seperti anak kecil. Siapa yang tidak sepaham akan disingkirkan dari pertemanan.

Dilan adalah contoh nyata orang jujur yang tidak mudah terpengaruh rumah permak. Karena keteguhannya pada kebenaran ia tersingkir dari temannya. Tapi rupanya ia telah matang dalam memilih. Ia memilih menyingkir dari rumah permak itu.

Seseorang yang semula menganggap dirinya kotor bertanya tentang alasan Dilan menyingkir.

“Mas Dilan, kenapa kau menyingkir?” Tanya temannya.

”Tentu saja kawan. Aku khawatir kelak ditanya Tuhan, siapakah teman-temanmu di dunia?” Jawab Dilan.

”Begitu fatalkah soal berteman ini?”

”Ya. Jika kawan-kawanku buruk akhlaknya, tentu aku akan menjadi bagian dari mereka. Seperti polisi yang menangkap penonton sabung ayam, walaupun bukan pelakunya, ia akan dijebloskan penjara juga.” (Ali Shodiqin)

Kamis, 10 Juni 2010

Bingungnya Orang Tolol

Entah bagaimana awalnya, Bos Dewi sudah tidak tertarik dipanggil “bos”. Menurutnya panggilan untuk orang kaya itu sudah usang. Membosankan.

Seperti pagi itu di perusahaan pemasok ayam potong.

”Assalamu’alaikum, Bos Dewi!” Terdengar suara seorang karyawan menyapa tuannya.

Wanita yang sudah ubanan rambutnya, yang dipanggil bos itu hanya menjawab lirih. Tidak menengok. Ia sibuk mondar mandir mengawasi ribuan ayam piaran yang tengah diberi makan para karyawan.

Sore itu, ketika dirinya sedang istirahat ada tetangganya yang datang. Orangnya jago ngerumpi, pula jago memuji.

”Aduh Bu Nyai, istirahat ya,” sapa tetangganya bikin dirinya kaget. Kaget karena dipanggil Bu Nyai.

”Kamu Denok! Aku jangan dipanggil Bu Nyai, ah!” Kata Bos Dewi pura-pura malu. Tapi si Denok tahu kalau Bos Dewi senang dengan panggilan itu. Sebuah panggilan yang galibnya untuk perempuan yang ilmu agamanya mumpuni.

Akhirnya mereka ngrumpi habis. Pulangnya Denok diberi sekeranjang makanan enak.

Denok makin senang memanggil Bos Dewi dengan panggilan ”Bu Nyai”. Bos Dewi makin bangga saja. Serasa melambung walaupun sebenarnya pengetahuan agamanya pas-pasan.

Dan si Denok, makin makmur karena selalu dapat sokongan dari Bos Dewi..... eh Bu Nyai. (Ali Shodiqin).

Jumat, 04 Juni 2010

Dua Bocah Saat Makan Sore

Di tengah kampung yang padat, Sutini merawat dua anaknya, laki dan perempuan. Sang suami kerja di perantauan, pulang dua bulan sekali.

Hari-hari Sutini bekerja pada bos rosok. Siang istirahat dan mempersiapkan makan anaknya. Sebagai keluarga yang hidup pas-pasan, anak-anaknya senang jika ada orang punya hajat, apalagi orang kaya.

”Kalau ayah di rumah, pasti diundang hajatan ya Bu,” kata Didi anak yang kecil pada ibunya.

”Biasanya kan dikirimi kalau ayah tidak di rumah,” Siti sang kakak menyahut.

Sutini diam saja. Ia tetap menanak nasi untuk makan sore. Hal demikian membuat penasaran dua anaknya.

”Ibu, kenapa tetap memasak? Bukankah nanti kita dikirimi hajatan tetangga?” Tanya Siti agak khawatir.

Sutini tersenyum. ”Mungkin ya. Tapi mungkin juga tidak anakku! Siapa tahu tiba-tiba mereka lupa pada kita!”

”Kenapa begitu?” Didi bertanya.

”Kita tidak boleh berharap kepada siapapun kecuali pada Tuhan. Berharap kepada manusia itu namanya tamak. Itu sikap buruk, anakku.”

”Kenapa Bu?” Siti masih belum mengerti, apalagi Didi.

”Orang kaya itu berat, anakku. Betapa bingungnya mereka untuk menjaga hartanya agar tidak berkurang, atau sekedar mengembalikan hak orang miskin. Apalagi berbagi. Mereka perlu dikasihani karena di akherat perhitungan untuk mereka amat berat.”

Siti dan Didi berpandangan. Antara faham dan bingung.

Sore itu, senandung selawat dari lisan sang ibu mengiringi dua bocah yang tengah makan lahap dari hasil jerih payah sang ibu. (Ali Shodiqin)

Tukang Ukir dan Sepotong Tempe

Menganggur setelah menikah tentu bukan pilihan yang bagus. Termasuk Fandi yang istrinya telah hamil. Merasa memiliki tanggungan dan malu kepada mertua, Fandi memilih merantau. Pilihannya Yogyakarta, yang kata temannya banyak pengrajin grabah. Fandi minat ke sana karena ia senang bekerja di sentra kerajinan, padat karya. Setidaknya bisa bekerja jadi tukang jemur atau kuli angkut.

Dugaan Fandi meleset. Setelah dapat kos kosan, Fandi melamar pekerjaan di home industri grabah yang besar-besar. Satu dua tdak ada yang bisa menerima, hingga puluhan perusahaan grabah menolak semua. Rata-rata mereka mencari tukang ukir. Ahli membuat motif keramik dengan menempel-nempel hiasan dengan tanah liat. Hanya orang kreatif yang bisa melakukan itu. Biasanya anak asli kampung setempat yang sudah latihan sedari kecil.

Fandi berfikir keras, bagaimana cara bisa mendapat pekerjaan. Maka ia memberanikan diri meminjam tanah lempung kepada orang kampung. Dicobanya membikin sebuah benda dengan lempung. Tampaknya tidak terlalu sulit. Dengan skill seni yang dimilikinya, Fandi merasa yakin diterima kerja.

”Saya melamar jadi tukang ukir, Bu!” Dengan penuh tekad, Fandi kembali melamar kerja.

”Ya boleh. Silahkan coba membuat hiasan keramik di situ!” Perempuan pemilik perusahaan menunjuk sekelompok tukang ukir yang sudah profesional.

Dengan penuh keyakinan, Fandi menghias sebuah guci basah seperti contoh. Tidak mudah memang, dari pagi hingga sore hanya mampu menyelesaikan satu guci. Padahal harga borongan satu guci setara dengan harga sepotong tempe goreng. Fandi yakin, jika sudah terbiasa nantinya akan bisa menyelesaikan hiasan guci lebih banyak.

Sore itu. “Besok kembali lagi, ya!” kata pemilik perusahaan mulai ada kecocokan.

”Alhamdulillah.....!” Ucap Fandi lega. Walaupun hari itu dapat sepotong tempe, Fandi telah bekerja menjadi tukang ukir. (Ali Shodiqin)

Sabtu, 29 Mei 2010

Aku Memilikimu Kawan

Malam ini, sebuah pesta meriah diadakan oleh Jeki, salah satu kawan di kampung kami. Jeki juga nanggap orgen tunggal hingga pesta itu tampak hingar bingar. Kawan-kawannya diundang semua termasuk saya.

Habis Isya saya bersiap hendak berangkat ke pesta itu. Ketika baru beberapa langkah keluar rumah, kulihat Sarju nongkrong di teras rumahnya. Aku mendekatinya.

”Ayo berangkat, Sarju!” Ajakku. Pastilah Sarju juga diundang.

”Silahkan Mas, saya di sini saja!” Jawabnya sambil bersalaman.

”Kenapa Sarju?” Tanyaku turut duduk disampingnya. Terdengar suara derit bale bambu menahan beban kami berdua. Bale bambu ini sama reotnya dengan rumahnya Sarju yang amat sederhana.

“Aku tidak diundang, kok!” Jawab Sarju datar.

Aku terkejut. Keterkejutanku tidak tampak di teras remang-remang itu. Aku sedih, mengapa Sarju yang miskin ini tidak diundang? Jeki memang kaya, dengan kekayaannya ia bisa bagi-bagi uang, terutama bagi orang yang penurut, yang suka mengelu-elukannya. Tidak demikian dengan Sarju, ia bersikap biasa-biasa saja terhadap Jeki. Menurutnya semua orang derajatnya sama.

”Kenapa kau tidak ke pesta itu saja?” Tanya Sarju. ”Kau nanti akan dijauhi Jeki jika ketahuan dekat denganku, sementara kau tidak hadir.”

”Tidak masalah. Aku masih memilikimu, kawan!” Jawabku tegas.

Sarju tampak terkejut, lalu terdiam. Malam itu aku lalui bersamanya dengan pembicaraan yang tidak berarti, namun penuh arti. (Ali Shodiqin)

Jumat, 28 Mei 2010

Singgasana Yang Luka

Dengan kaki gemetaran, aku menghadap ibu yang tengah duduk di singgasananya yang agung. Dibalik ketabahannya ia tampak memendam kekecewaan yang dalam.

“Maaf ibu, apa salah paduka memanggilku!” ucapku memberanikan diri.

“Apa yang kau peroleh dari Durno, anakku!” Tanya ibu menyebut seorang punggawa kerajaan.

Aku berfikir keras, apa yang pernah diberikan Durna kepadaku? Aku ingat sekarang, tapi sudah lama sekali. Tiga tahun lalu.

”Aku pernah diberi uang lima belas ribu, ibuku!”

Jawabanku membuat mata ibu terbelalak. ”Apa yang Durna lakukan sekarang!”

Aku memicingkan mata seolah berfikir, karena sebenarnya ingatanku mulai terbuka lebar. Betapa Durna amat serakah. Tiga tahun lalu, mungkin akan genap lima tahun ini, kecuali jika malaikat melempar nyawanya ke neraka, Durna merampas semuanya. Hanya dengan bermodal lima belas ribu per orang, ia mendapat semuanya. Hutan dan kandungannya, uang rakyat, semuanya disikat!

“Apa yang kau peroleh kemudian, anakku!” Suara ibu menyentakkan lamunanku.

”Patik tidak memperoleh apa-apa ibu, kecuali kecurangannya!”

”Kaulah akhirnya yang menanggung akibatnya!”

Yah! Aku dan kawan-kawan, rakyat jelata ini turut menanggung akibatnya, karena mau dibeli! (Ali Shodiqin)

Kamis, 20 Mei 2010

Siapakah Anda?

Tiga bulan yang lalu saya menjumpai seorang pria yang tampaknya baru turun dari bus. Sejurus kemudian pria tinggi kurus, selalu berdiri di pinggir jalan pantura, jurusan Semarang-Surabaya. Gelagatnya seperti hendak menumpang bus, namun tak satupun bus yang ia stop. Sepertinya ia telah “bingung” siapa dirinya dan hendak ke mana?

Hari berganti minggu dan bahkan bulan pun telah berganti, pria tersebut masih mondar-mandir di sepanjang ruas jalan pantura. Soal makan minum, ada saja orang yang kasihan memberinya makanan, yang turut ‘bingung’ dengan keberadaannya, yang sudah tiga bulan ini tak kunjung menemukan tumpangan pulang.

Saya pernah mencoba mendekatinya dengan memberinya makanan sambil bertanya: “Dari mana Pak?”

Pria malang itu menerima makanan sambil menyebutkan sebuah desa yang tidak jelas. Setelah berucap terima kasih, ia pergi dengan tergesa.

Pakaiannya pun makin kumal, dan sempat ganti baju. Topinya yang makin menghitam setia menemaninya. Sesekali ia tampak membawa tas bawaan. Hati saya menangis, bagaimana nasibnya kelak. Bagaimana pula keluarga yang ditinggalkannya. Mungkin anak istrinya menyangka sang ayah telah bekerja dan tidak lama lagi akan pulang membawa oleh-oleh. Padahal kenyataanya yang ditunggu-tunggu tengah ”bingung” di negeri orang.

Siapakah Anda? (Ali Shodiqin)

Minggu, 16 Mei 2010

Antara Dua Gelas Minuman

Di sebuah pesta khitanan anak tetangga, saya hadir dan turut makan minum di sana karena memang diundang. Ketika saya minum segelas teh, tiba-tiba saya butuh sesuatu hingga harus keluar ruangan.

”Saya titip ini ya,” kataku pada seseorang yang duduk di sebelahku.

”Ya Mas!” Jawabnya.

Saya keluar sebentar, tidak lama kemudian saya kembali lagi.

Ketika saya hendak minum teh, terlihat di dalam teh ada segumpal debu yang kotor. Tampaknya kejatuhan kotoran dari atap. Saya urung mengambil teh, tapi saya hendak meraih sebuah air bening yang masih utuh di dekat gelas teh.

“Jangan ini Mas!” kata orang yang saya titipi tadi.

”Mengapa?”

”Ini milik orang lain yang belum tentu ia merelakannya. Sedangkan teh itu walau pun kotor, jelas itu milikmu sendiri!” Jawabnya.

”Mengapa begitu?” Aku belum mengerti.

”Teh kotor itu milikmu, kita masih berharap Tuhan mengampuni kesalahan kita karena minum teh kotor. Sedang air bening itu, jika diminum kita harus minta kerelaan pemiliknya. Padahal belum tentu kita nanti ketemu orangnya. Atau jika ketemu, belum tentu dia rela. Itu berarti kita dosa dua kali!”

Aku tertegun. (Ali Shodiqin)

Perjalanan Ini Masih Jauh

Sepasang suami istri tengah menginap di sebuah hotel setelah melakukan perjalanan jauh. Setelah semalam istirahat, paginya mereka tampak sibuk sekali. Rupanya mereka tengah menata ruangan, menggeser-geser ranjang, menata penempatan meja, termasuk susunan meja kursi di depan kamarnya.

Ulah mereka memaksa petugas hotel untuk menegur mereka.

“Bapak ibu ini hendak menginap berapa hari?” Tanya petugas yang tampak sangat keheranan melihat suasana kamar hotel yang berubah total.

“Dua hari Mas!” Jawab yang pria meyakinkan.

“Mengapa mesti menata ruangan seperti sedang di rumah sendiri?”

”Sumpek Mas. Saya ingin suasana yang beda!”

”Mengapa mesti repot jika hanya menginap dua hari? Bukankah di hotel itu ibarat mampir minum?”

Suami istri itu saling berpandangan.

”Mengapa kita mesti repot-repot di hotel?” Ucapnya bersamaan.

”Mestinya kita mempersiapkan hal-hal lain, untuk menuju perjalanan yang lebih panjang!" Kata sang istri.

Sang suami mengangguk setuju. (Ali Shodiqin)

Kamis, 13 Mei 2010

Karena Tidak Minum Kopi

Ketika masih di kelas empat SD, teman yang satu ini punya kebiasaan unik. Setiap pagi hampir pasti
ketika usai sarapan pagi ditutup dengan minum kopi. Entah bagaimana mulanya, sang ibu sendiri sering memesankan segelas kopi untuk diminum berdua dengan adiknya.

Suatu hari ketika di sekolah, Bejo, demikian namanya tampak sedang berwajah tidak bersemangat. Tampaknya ia sakit. Benar saja, Bejo sempat muntah-muntah.

Hal demikian memantik perhatian Bapak Kepala Sekolah. Maka Kepala Sekolah mendekatinya untuk mengetahui keadaannya.

”Bejo, mengapa kamu kok pusing dan muntah, sakit ya?” tanya Kepala Sekolah penuh perhatian.
”Iya Pak. Ini gara-gara tadi pagi saya tidak minum kopi!” jawab Bejo serius.

Kepala Sekolah dan teman-temannya tertawa keras mendengar jawaban Bejo. Mengingat Bejo yang masih kelas 4 SD, jawaban itu termasuk aneh.

Belakangan setelah saya besar baru tahu, ternyata orang yang keranjingan kopi bisa pusing jika tidak minum kopi sehari saja. (Ali Shodiqin)

Minggu, 02 Mei 2010

Belum Lahir Minta Ikut

Almas, cewek kecil itu baru berumur 3 tahun. Kesukaannya adalah melihat-lihat foto album milik ayah ibunya. Seperti pada pagi itu, ia membolak-balik foto album. Kadang ia menanyakan pada ibunya, kapan kejadian di foto, lalu ia mengomentarinya.

Dilihatnya foto ibunya yang tengah berpose di taman sendirian. “Umik, ini foto di mana?” Tanya Almas. Ia memanggil ibunya dengan sebutan UMIK.

”Itu di taman Mantingan,” jawab Sang Umik.

Almas diam sejenak. Lalu album diletakkan kembali dan segera masuk kamar. Umik tidak menyadari sedang apa Almas di dalam kamar. Tiba-tiba terdengar isak tangis yang amat pelan. Umik kaget, Almas tengah terisak.

”Lho, kok nangis. Ada apa Almas?” tanya Umik.

”Mengapa Umik pergi ke taman tidak mengajakku?” Tanya Almas masih terisak.

Umik tertawa ngakak. ”Almas sayang, kan foto itu waktu Umik masih remaja. Kamu belum ada.”

Almas hanya bengong, tampak belum mengerti, kenapa ia belum ada?

(Ali Shodiqin)

Senin, 26 April 2010

Habis-Habisan

Borin hanya punya satu obsesi, ia ingin jadi orang yang terpilih di mata Pak Lurah. Ia ingin dipilih jadi menantu, atau jadi pegawai di kantornya.

Segala upaya telah dilakukan. Penampilannya rapi dan menarik. Tutur katanya teratur dan terencana. Yang lebih extrim lagi, Borin suka mengirim oleh-oleh kepada keluarga Pak Lurah.

Apa yang terjadi kemudian? Pak Lurah yang semula ramah, kini menjadi sosok yang cuek. Semakin lama Borin memberi, Pak Lurah semakin menjauh. Bahkan kini Pak Lurah sudah tidak mau menemuinya.

”Pak Lurah, kenapa engkau makin tidak peduli? Aku sudah habis-habisan!”

Tak ada jawaban. Sepucuk surat melayang di rumah Borin.

“Aku tidak akan peduli kamu lagi. Kau telah membeli kepedulianku dengan harta!”

(Ali Shodiqin)

Rumah Yang Buruk

Petualangan Karno ke berbagai kota membuat dirinya menjadi pribadi yang percaya diri. Pengalamannya dalam berbagai bidang pekerjaan sangat menguntungkan. Pekerjaan terakhir Karno menjadi staf seorang kontraktor di kota kelahirannya.

Tampaknya keberuntungan belum memihaknya. Ia melihat dengan mata kepala akan kecurangan yang dilakukan bosnya terhadap mitra. Anehnya, kecurangan itu juga dilakukan anak buahnya terhadap bosnya. Ia melihat kelimpahan harta pada diri bos dan anak buahnya yang sama-sama curang.

Suatu hari alangkah terkejutnya Karno, ia mendapati bosnya sedang mengecat rumahnya dengan kotoran sapi yang busuk. Karno tidak berani mendekat, tapi segera datang ke rumah temannya untuk diberitahu.

Ternyata semua kawan sekantornya berbuat sama, pada mengecat rumahnya dengan kotoran sapi. Terasa ia mau muntah, segera Karno lari pulang ke gubuk reotnya. Rumah reot namun wangi. (Ali Shodiqin)

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...