Jumat, 28 Mei 2010

Singgasana Yang Luka

Dengan kaki gemetaran, aku menghadap ibu yang tengah duduk di singgasananya yang agung. Dibalik ketabahannya ia tampak memendam kekecewaan yang dalam.

“Maaf ibu, apa salah paduka memanggilku!” ucapku memberanikan diri.

“Apa yang kau peroleh dari Durno, anakku!” Tanya ibu menyebut seorang punggawa kerajaan.

Aku berfikir keras, apa yang pernah diberikan Durna kepadaku? Aku ingat sekarang, tapi sudah lama sekali. Tiga tahun lalu.

”Aku pernah diberi uang lima belas ribu, ibuku!”

Jawabanku membuat mata ibu terbelalak. ”Apa yang Durna lakukan sekarang!”

Aku memicingkan mata seolah berfikir, karena sebenarnya ingatanku mulai terbuka lebar. Betapa Durna amat serakah. Tiga tahun lalu, mungkin akan genap lima tahun ini, kecuali jika malaikat melempar nyawanya ke neraka, Durna merampas semuanya. Hanya dengan bermodal lima belas ribu per orang, ia mendapat semuanya. Hutan dan kandungannya, uang rakyat, semuanya disikat!

“Apa yang kau peroleh kemudian, anakku!” Suara ibu menyentakkan lamunanku.

”Patik tidak memperoleh apa-apa ibu, kecuali kecurangannya!”

”Kaulah akhirnya yang menanggung akibatnya!”

Yah! Aku dan kawan-kawan, rakyat jelata ini turut menanggung akibatnya, karena mau dibeli! (Ali Shodiqin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...