Selasa, 07 Agustus 2012

SEPAK BOLA DUNIA LAIN

Seorang pria paruh baya tampak terseok-seok mendekati sebuah pohon rindang dipinggir kota. Tampaknya dia hendak beristirahat di sana. Seharian dari pagi hingga siang meniti jalan, mendatangi rumah ke rumah, menadahkan tangan kepada setiap orang yang ditemui alias mengemis. Profesi yang dilakoninya itu semenjak ekonominya makin morat-marit. Apalagi fisiknya yang lemah dan makin membesarnya sakit gondok di lehernya. Siapa saja yang melihat kondisinya yang mengenaskan itu akan merasa sangat iba. Dan itulah salah satu modalnya untuk mengemis. Namun akhir-akhir ini ia merasakan sekali perubahan. Sejak BBM naik dan harga-harga melambung, orang-orang makin pelit saja untuk menyisihkan recehan buat pengemis. Penghasilan mengemis pun nyaris tak cukup untuk keluarga. "Peduli amat dengan orang pelit! Lebih baik istirahat dulu, ah!" desah lelaki itu sambil meletakkan pantatnya di atas tanah yang nyaris tertutup dengan daun pohon rindang itu. Batinnya menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan Maha Adil. Saking lelahnya, apalagi di bawah pohon yang sejuk ditambah terpaan angin semilir, menjadikan pengemis itu mengantuk. Kepasrahan yang total kepada Yang Kuasa, menjadikan dia tak merasakan kekuatiran apa-apa tidur di bawah pohon besar sendirian nan sunyi. Sementara itu di dunia lain, tampak dua anak kakak beradik keturunan jin yang bermukim di pohon itu tengah asyik bermain. Ding dan Dong saling berebut dan saling menendang bola emas yang menggelinding bebas di bawah pohon itu. Rupanya demam sepakbola tidak hanya melanda umat manusia di dunia, di dunia jin pun pada demam bola. Tentu saja kegaduhan dua anak itu tak akan dirasakan oleh pengemis, karena mereka berada di dunia lain. Setelah lama bermain, sang adik yang bernama Dong itu berhenti menendang. "Capai sekali Kak! Lama-lama kakiku sakit, habis bolanya keras sih!" kata Dong sambil menyandarkan tubuhnya pada pohon. "Kok tidak ada bola yang empuk dari kulit ya?" kata Dong lagi. Ding hanya tersenyum mendengar keluhan adiknya. Dia berpikir keras, bagaimana caranya agar bisa mengajak adiknya bermain sepak bola lagi. Tiba-tiba matanya menemukan sesuatu yang dicari-cari. "Dong! Lihat ada bola empuk seperti yang kau maksud!" kata Ding sambil menunjuk bola yang 'nangkring' di leher pengemis yang tertidur di bawah pohon. Mereka segera berhambur mendekat. "Wow! Bola yang bagus! Pasti mahal!" kata Dong sambil meraba-raba gondok pengemis yang dianggapnya bola itu. "Kak Ding bisa mengambilnya?" Pinta Dong pada kakaknya. "Akan aku coba!" Dengan ilmu dunia jin tentunya, bola yang tak lain gondok pengemis itu ditariknya hingga lepas. Tak ada bekas sama sekali jika gondok itu diambil oleh makhluk halus. "Kak, sebagai gantinya, bola emas ini kita letakkan saja di dekat leher orang ini. Kasihan jika dia mencari bolanya yang hilang!" Usul Dong. "Usulmu bagus! Semoga dia tidak marah telah kita tukar bolanya!" ujar Ding. Sejurus kemudian, Ding dan Dong tampak bersemangat bermain bola lagi. Kali ini bolanya empuk dan nyaman ditendang. Hampir satu jam pengemis itu terlelap. Setelah bangun ia mendapati badannya terasa lebih segar dan ringan. Lama ia termenung, apanya yang beda? Barulah disadari gondoknya telah kempes tanpa bekas. Dan lebih terkejut lagi ia menemukan bola emas yang terletak di sebelahnya. “Apa yang barusan terjadi padaku?” Gumamnya tak mengerti. Tanpa ba bi bu, segera bola emas itu dimasukkan ke kantong perbekalannya dan segera pulang. Rupanya anak-anak dan istrinya sedang di luar, sehingga mereka pada kaget melihat perubahan besar pada diri ayahnya. "Ayah sembuh! Ayah sembuh.....!" Teriak anak-anaknya menyambut kedatangan sang ayah dengan penuh sukacita. Ayah mereka kini sehat wal afiat, tanpa gondok lagi. Rupanya, keceriaan hari itu adalah awal kebahagiaan mereka. Tidak lama kemudian kehidupan keluarga pengemis itu berubah makmur. Ia banting setir, beralih profesi. Pengemis itu menjual emasnya sedikit demi sedikit untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk modal kerja. Tidak lagi mengemis tapi mencoba menjadi seorang pedagang yang baik. Kini keluarga pengemis itu memiliki sebuah toko kelontong yang besar. Tak ayal, perubahan yang super cepat itu membuat salah satu tetangganya iri hati. Kebetulan tatangga yang iri ini adalah orang kaya yang terkenal pelit. Si Pelit mencoba mendekati mantan pengemis itu untuk mengorek keterangan, darimana gerangan hartanya itu. "Tolonglah saya diberitahu, darimana harta kamu yang sekarang melimpah itu!" Kata Si Pelit kepada mantan pengemis setengah memaksa. "Sudah berkali-kali saya jawab, saya dapat rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa!" Jawab mantan pengemis komplit. Namun Si Pelit terus mendesak. Sudah tahu rejeki itu dari Tuhan, tapi pasti ada jalannya juga. Karena dipaksa-paksa terus, maka mantan pengemis memberitahunya juga. Siang itu matahari teramat terik. Matahari sudah mencapai di tengah, menjelang luhur. Tampak Si Pelit dengan diam-diam pergi ke sebuah pohon seperti yang diceritakan mantan pengemis. Dia tidak sedang apa-apa, hanya hendak tidur. Walaupun tidak bawa tikar, dia bawa bantal juga, agar tidurnya nyaman. Dan dia benar-benar bisa tidur. Di dunia lain, Ding dan Dong tengah bermain sepak bola. Tampak di wajah Dong, sang adik, diliputi kebosanan. "Kak, rasanya terus-menerus pakai bola ini kok bosan. Kita kembalikan saja yuk!" Kata Dong pada kakaknya. "Bisa! Tuh pemiliknya telah kembali ke sini!" Kata Ding menunjuk orang tidur tidak jauh dari tempatnya bermain. "Tapi kemana bola kita?" Tanya Ding yang tidak menemukan bola emasnya lagi. "Ah, peduli amat Dik! Biar saja bola hilang. Kan ayah kita bisa mengambil harta karun yang lain. Masih ada harta karun dari situs Pajajaran, ada emas cadangan dana revolusi, dan masih banyak lagi emas terpendam yang konon peninggalan Majapahit!" Kata kakaknya. Kakak beradik dari bangsa jin itu sepakat. Maka serta merta Ding meletakkan kembali bola empuk yang nyaris kedodoran itu di leher orang tidur. Bola itu menempel dengan sempurna dan menyatu ke leher orang tidur itu. Sesaat kemudian, Si Pelit terbangun. Alangkah terkejutnya dia, bukannya bola emas yang dia dapat, malah penyakit gondok besar telah tumbuh di lehernya. Seketika dia tidur kembali, alias pingsan! Untunglah tetangga-tetangganya telah menemukan Si Pelit, sehinga dia dibopong ramai-ramai ke rumahnya. Betapa menyesalnya Si Pelit, kenapa dirinya menjadi orang yang mudah iri hati, tidak mensyukuri kenikmatan dari Tuhan yang telah diberikan padanya? (Kang Diqin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...