Jumat, 14 Januari 2011

Pulang Kampung

Seorang anak lahir di kampung itu. Sebuah kampung pinggiran tapi penuh dinamika. Sebagaimana kampung lainnya, terkadang kemiskinan menggejala dengan tidak diimbangi kepedulian yang lain.

Seperti anak itu, ia menghuni gubuk reot yang berdiri di antara dua gedung megah tetangga. Tak ada sentuhan nurani dari mereka walaupun sekedar sebatang tiang agar rumah itu tidak miring.

Usia remaja memaksanya harus pergi merantau, meninggalkan sang Ibu yang tua, kerja serabutan. Kerasnya negeri orang menempa jiwanya hingga ia pulang kembali seperti seorang pendekar. Layaknya seorang Malin Kundang. Walaupun ia tidak bergelimang uang, tapi ia menemukan dirinya dewasa. Walaupun masih miskin, ia tampak sahaja dan berwibawa.

”Kemana ibuku, Pak Lurah?” Tanya anak rantau itu pada Pak Lurah yang tampaknya sudah berganti, setelah ditemukan rumahnya yang sudah rata. ”Kemana pula rumahku?”

”Maaf Nak, ibumu sudah meninggal dunia. Rumahmu disertifikatkan orang lain. Saya kurang tahu awal kejadiannya,” Pak Lurah menjelaskannya dengan rasa khawatir, takut menghadapi kemarahannya dan sekaligus kasihan.

Anak itu terisak pelan. Tak ada kata yang keluar dari lisannya. Dari keterangan Pak Lurah, pernah ada peristiwa yang membuat desanya kacau. Ibunya meninggal secara wajar, tapi penduduk-penduduk sekitarnya terlibat kekacauan yang sulit dijelaskan. Sebuah kekacauan yang berlangsung lama sehingga melumat peradaban.

(Ali Shodiqin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...