Di bawah jembatan reot itu, seekor anak kucing termenung sendirian.
Ia memikirkan induknya yang sudah amat tua dan lemah.
“Siapakah
yang akan melindungiku bila ada musuh?” pikir Si Coklat, nama anak kucing yang
bulunya coklat itu.
“Bu,
siapakah makhluk yang paling hebat dan istimewa di dunia ini?” tanya Si Coklat
suatu ketika.
Induknya
sempat bigung.
“Om
Matahari!” Jawab induknya setelah berpikir.
“Oh, ya?
Kenapa dia istimewa?”
Nah kan?
Anak cerdas pasti suka bertanya, pikir sang induk.
“Lihat
saja sendiri. Om Matahari rajin terbit dari timur dan tak pernah terlambat.
Cahayanya menerangi bumi, hingga makhluk hidup di bumi menjadi sehat. Ibu
pikir, dialah makhluk istimewa dan hebat!” Sang induk menjelaskan panjang
lebar.
“Apa Coklat
boleh belajar kepada Om Matahari?”
“Tentu
boleh. Ibu senang punya anak yang senang belajar!”
Maka
pergilah Coklat ke atas bukit tertinggi.
“Assalamu’alaikum,
Om Matahari!” Ucap Coklat pada Matahari.
“Alaikum
salam!” Jawab Matahari.
“Kata
Ibu, Om makhluk istimewa dan hebat!”
“Hmmm....
Mungkin saja!” Kata Matahari ragu.
“Aku
ingin belajar pada Om Matahari. Tapi, adakah makhluk lain yang lebih hebat dari
Om?”
Matahari
diam sejenak. “Baiklah. Aku kalah dengan
Kek Mendung!”
“O,
tidak sangka. Aku tunggu Kek Mendung saja!”
Tidak
lama, dari timur mendung datang. Tiba-tiba sinar matahari terhalang hingga
suasana jadi sejuk.
“Hebat,
hebat!” Seru Coklat girang.
“He...he...
Bisa saya bantu?” Tanya Mendung.
“Aku
ingin belajar pada Kek Mendung, bila tidak ada yang lebih hebat dari Kakek!”
Kek
Mendung tersenyum kecut. “Baik Coklat! Jika hujan datang, mendung akan hilang!”
Benar
saja, setelah hujan datang, sirnalah mendung.
“Hujan
memang hebat!” seru Coklat takjub. “Adakah yang lebih hebat dari Bapak?”
“Wah,
aku kalah dengan gunung. Diguyur hujan berapapun, ia tetap tegar!” jawabnya
tanpa basa-basi.
“Terima
kasih. Aku akan ke Wak Gunung saja!”
Gunung
pun menyambut kedatangan Si Coklat.
“Wah,
gunung yang besar. Barangkali inilah calon guru saya yang sesungguhnya!” Kata
Coklat pada Wak Gunung.
“Ho...
ho...., tapi sayang. Sehebat-hebatnya aku, masih kalah dengan tikus kecil!”
kata Wak Gunung sendih. “Tikus suka membuat rumah di tubuhku!”
Coklat
melongo mendengar penjelasan Wak Gunung yang ternyata kalah dengan seekor
tikus.
Dengan
susah payah, dicarilah tikus di gunung itu.
“Mas
Kus, rasanya kaulah makhluk yang paling perkasa!” Kata Coklat pada Mas Tikus.
“Apaa...!”
Tikus melongo. “Apa alasanmu?”
“Kata
ibuku, makhluk hebat itu Om Matahari. Tapi dia kalah dengan Kek Mendung. Lalu
kalah lagi dengan Pak Hujan. Hujan pun kalah dengan Wak Gunung. Kini Gunung
kalah olehmu. Pasti tidak salah jika aku datang ke sini!” Coklat menjelaskan
panjang lebar.
“Ketahuilah
Nak Coklat! Aku sendiri kalah dengan indukmu!” Kata Mas Kus.
Bak ada
petir, Si Coklat kaget bukan kepalang.
“Kau
kalah dengan indukku yang sudah tua itu?”
Tikus
mengangguk meyakinkan.
Tidak
disangkanya, sang induk adalah makhluk paling hebat! Dibayangkan wajah ibunya
yang keriput. Di balik keriputnya ternyata menyimpan keperkasaan yang tiada
tanding.
“Aku
tidak terlambat! Ibuku memang segalanya!”
Dengan
girang Coklat segera pulang. Dia ingin memandang ibunya dengan pandangan cinta
dan kasih sayang, bukan pandangan kosong seperti sebelumnya. Untuk selanjutnya,
Si Coklat bertekad ingin ikhlas berbakti kepadanya. Ali Shodiqin (Pernah dimuat di Surabaya Post 22.12.96)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar