Senin, 19 Maret 2018

MENTEROR MALING


“Kamu tunggu rumah ya? Ibu dan ayah hanya menginap semalam di rumah kakek,” kata ibu pada Rahmat tadi pagi.
Kini Rahmat sendirian di rumah. Adik satu-satunya diajak serta karena masih kecil. Ia tidak boleh ikut, karena esoknya harus sekolah.
Di rumah sendirian betapa sepinya. Tiba-tiba ia teringat Zamil. Pastia ia mau diajak menemaninya.
“Di rumahmu ada makanan nggak?” Tanya Zamil.
“Beres. Masih ada persediaan gandum dan garam sampai musim semi tiba,” kelakar Rahmat menirukan gaya koboy yang makanan pokoknya adalah gandum.
Menyenangkan. Sambil nonton TV, Zamil ngoceh yang lucu-lucu. Tak terasa jam dinding berdentang satu kali.
“Sudah malam Mat!” Seru Zamil.
Rahmat hanya menjawab dengan menguap lebar.
TV dan lampu tengah dimatikan.
“Kamu punya penjaga rumah?” Tanya Zamil tiba-tiba.
“Penjaga rumah? Aku belum jadi orang penting!”
“Yang duduk di sana itu siapa?” Zamil menunjuk halaman rumah.
Ruang tamu yang gelap memudahkan mereka mengintip dari balik gorden. Tampak seseorang bertopeng di bawah pohon jambu.
“Mencurigakan! Pasti maling!” Kata Rahmat dengan suara bergetar.
“Jangan takut. Kalau nekat masuk rumah, kita kerjain berdua. Setuju?” Usul Zamil membesarkan hati Rahmat.
Setelah musyawarah sebentar, segera mereka mempersiapkan alat-alat yang diperlukan. Ketapel, kerikil, tali, bantal, dan selimut.
Jam berdentang dua kali. Samar-samar dari kejauhan sudah terdengar ayam jago berkokok.
Tiba-tiba terdengar suara daun pintu didongkel. Kemudian terlihat kilatan lampu senter. Sosok bayangan hitam sampai ruang tengah. Ketika maling hendak membuka pintu kamar utama, tiba-tiba.... klothak!
“Aduh!” Maling mengaduh sambil meraba kepala sampingnya yang benjol. Untuk sementara tamu tak diundang itu hanya diam. Ngempet rasa sakit, meski kepalanya kena peluru ketapel. Matanya jelalatan.
“Pasti dua anak tadi yang menyerangku dari atas sana,” batin maling sambil mendekati tangga.
Dinaikinya tangga. Sampai di atas, dua kamar diaduk-aduk. Tak ditemukan penyerang yang dimaksud. Untuk sesaat ia mondar-mandir di depan kamar. Dan... klothak!
“Aduh!”
Kali ini si maling mengaduh lebih keras. “Hai, siapa yang menyerangku?! Hadapi aku!” serunya dengan suara agak tertahan. Berlagak pendekar, si maling berkacak pinggang dengan pisau kecil terhunus.
Diraba jidatnya. Dua benjolan kini. Benjolan yang ada di jidatnya persis lampu merah.
Merasa tak ada yang berani menghadapi, dia turun ke bawah. Suara kakinya menggebrak keras anak tangga, pertanda ia tengah marah. Tinggal dua langkah maling itu sampai ke lantai, tiba-tiba..... gddobrakk!
Wuadduh! Matik aku!
Tubuh maling itu terjungkal ke lantai. Giginya gemeretak menahan sakit dan amarah. Sampai hitungan ke sepuluh (kayak tinju saja) maling itu tidak bangkit.
“Kurang ajar!” Umpatnya kemudian. Tubuhya sempoyongan seperti orang kalah tinju beneran. Didekatinya tangga. Rupanya ada tali melintang.
“Siapa yang pasang?” Tanyanya sendirian. “Pasti bukan anak-anak lagi! Pasti ada yang mengatur!”
Tiba-tiba timbul rasa takutnya. Dia merapat ke dinding dan berjalan menuju dapur tanpa menyalakan senter. Namun nahas, jalan menuju ke sana telah dikunci dari dalam. Disorotnya dinding dengan senter, tampak ada pintu sedikit menganga. Tanpa ragu lagi ia masuk. Ternyata gudang.
“Jddier!!” Tiba-tiba pintu gudang tertutup. Siapa yang menutup? Maling itu berusaha membuka, namun sia-sia. “Dikunci dari luar!” gerutunya.
Dengan curiga disorotnya seluruh bagian dalam gudang. Hanya tumpukan karung dan kerdus. Tapi, hah?! Ada benda berdiri terbungkus selimut di pojok gudang. Mayat? Segera dimatikan senter. Dengan lemas ia duduk di belakang pintu.

Sesaat kemudian, Rahmat dan Zamil sudah kembali bersama peronda. Maling hanya bisa bengong. Ia baru sadar, ternyata ia benar-benar dikerjain anak-anak. (Ali Shodiqin) Pernah dimuat di Surabaya Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Usia SMA/SMK : 4 Strategi Orang Tua Kuatkan Komunikasi dengan Remaja

SAHABAT KELUARGA- “Ide bahwa anak adalah sumber pasif yang mudah dibentuk oleh orangtua mereka adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan...