“Kamu tunggu rumah ya? Ibu dan ayah hanya menginap semalam di rumah kakek,” kata ibu pada Rahmat tadi pagi.
Kini
Rahmat sendirian di rumah. Adik satu-satunya diajak serta karena masih kecil.
Ia tidak boleh ikut, karena esoknya harus sekolah.
Di rumah
sendirian betapa sepinya. Tiba-tiba ia teringat Zamil. Pastia ia mau diajak
menemaninya.
“Di
rumahmu ada makanan nggak?” Tanya Zamil.
“Beres.
Masih ada persediaan gandum dan garam sampai musim semi tiba,” kelakar Rahmat
menirukan gaya koboy yang makanan pokoknya adalah gandum.
Menyenangkan.
Sambil nonton TV, Zamil ngoceh yang lucu-lucu. Tak terasa jam dinding
berdentang satu kali.
“Sudah
malam Mat!” Seru Zamil.
Rahmat
hanya menjawab dengan menguap lebar.
TV dan
lampu tengah dimatikan.
“Kamu
punya penjaga rumah?” Tanya Zamil tiba-tiba.
“Penjaga
rumah? Aku belum jadi orang penting!”
“Yang
duduk di sana itu siapa?” Zamil menunjuk halaman rumah.
Ruang
tamu yang gelap memudahkan mereka mengintip dari balik gorden. Tampak seseorang
bertopeng di bawah pohon jambu.
“Mencurigakan!
Pasti maling!” Kata Rahmat dengan suara bergetar.
“Jangan
takut. Kalau nekat masuk rumah, kita kerjain berdua. Setuju?” Usul Zamil
membesarkan hati Rahmat.
Setelah
musyawarah sebentar, segera mereka mempersiapkan alat-alat yang diperlukan.
Ketapel, kerikil, tali, bantal, dan selimut.
Jam
berdentang dua kali. Samar-samar dari kejauhan sudah terdengar ayam jago
berkokok.
Tiba-tiba
terdengar suara daun pintu didongkel. Kemudian terlihat kilatan lampu senter.
Sosok bayangan hitam sampai ruang tengah. Ketika maling hendak membuka pintu
kamar utama, tiba-tiba.... klothak!
“Aduh!”
Maling mengaduh sambil meraba kepala sampingnya yang benjol. Untuk sementara
tamu tak diundang itu hanya diam. Ngempet rasa sakit, meski kepalanya
kena peluru ketapel. Matanya jelalatan.
“Pasti
dua anak tadi yang menyerangku dari atas sana,” batin maling sambil mendekati
tangga.
Dinaikinya
tangga. Sampai di atas, dua kamar diaduk-aduk. Tak ditemukan penyerang yang
dimaksud. Untuk sesaat ia mondar-mandir di depan kamar. Dan... klothak!
“Aduh!”
Kali ini
si maling mengaduh lebih keras. “Hai, siapa yang menyerangku?! Hadapi aku!”
serunya dengan suara agak tertahan. Berlagak pendekar, si maling berkacak
pinggang dengan pisau kecil terhunus.
Diraba jidatnya.
Dua benjolan kini. Benjolan yang ada di jidatnya persis lampu merah.
Merasa
tak ada yang berani menghadapi, dia turun ke bawah. Suara kakinya menggebrak
keras anak tangga, pertanda ia tengah marah. Tinggal dua langkah maling itu
sampai ke lantai, tiba-tiba..... gddobrakk!
“Wuadduh!
Matik aku!”
Tubuh
maling itu terjungkal ke lantai. Giginya gemeretak menahan sakit dan amarah.
Sampai hitungan ke sepuluh (kayak tinju saja) maling itu tidak bangkit.
“Kurang
ajar!” Umpatnya kemudian. Tubuhya sempoyongan seperti orang kalah tinju
beneran. Didekatinya tangga. Rupanya ada tali melintang.
“Siapa
yang pasang?” Tanyanya sendirian. “Pasti bukan anak-anak lagi! Pasti ada yang
mengatur!”
Tiba-tiba
timbul rasa takutnya. Dia merapat ke dinding dan berjalan menuju dapur tanpa
menyalakan senter. Namun nahas, jalan menuju ke sana telah dikunci dari dalam.
Disorotnya dinding dengan senter, tampak ada pintu sedikit menganga. Tanpa ragu
lagi ia masuk. Ternyata gudang.
“Jddier!!”
Tiba-tiba pintu gudang tertutup. Siapa yang menutup? Maling itu berusaha
membuka, namun sia-sia. “Dikunci dari luar!” gerutunya.
Dengan
curiga disorotnya seluruh bagian dalam gudang. Hanya tumpukan karung dan
kerdus. Tapi, hah?! Ada benda berdiri terbungkus selimut di pojok gudang.
Mayat? Segera dimatikan senter. Dengan lemas ia duduk di belakang pintu.
Sesaat
kemudian, Rahmat dan Zamil sudah kembali bersama peronda. Maling hanya bisa
bengong. Ia baru sadar, ternyata ia benar-benar dikerjain anak-anak.
(Ali Shodiqin) Pernah dimuat di Surabaya Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar